38 | Ayah

934 54 1
                                    

Tanpa melepas helm mengilap dari genggamannya, Yera berlari menuju ujung dermaga. Sepatu hitamnya berhenti di permukaan, dengan mata memandang kalut dan napas terengah.

"Velia, kau di mana? Velia!" Ia berteriak lantang, membiarkan pita suaranya memecah ombak yang telah menyelimuti lantai dermaga hingga basah kuyup. Yera meremas surai gelapnya kencang, memaki tak waras seperti orang gila. Tubuh berbalut kaus putih itu berputar cepat. Pupil sekeras batunya menatap nyalang tiap sisi dermaga yang membentang luas. Kemudian ia tertegun melihat sosok rapuh yang melangkah terseok menuju jalan raya.

"Velia...!" Yera kehabisan akal. Ia melempar helm merah-hitamnya hingga menimbulkan percikan hebat di air dingin itu. Tanpa memedulikan motor yang menderu karena mesinnya belum mati. Yera berlari cepat. Tergesa-gesa, melewati rentetan rumah tingkat dan lampu kuning yang tak sempat mengambil bayangnya.

Velia, kumohon....

Debu halus yang merangkak membuat bola mata Yerakebas. Namun, gumpalan cairan panas itu benar-benar timbul kala Velia makin tak tergapai.

Jangan, Velia. Jangan!

Pertigaan yang membatasi sama sekali tak Yera hiraukan. Ia melangkah lebar, mengulurkan tangan, berharap dapat menarik sejumput saja kain basah itu. Namun, fokus yang penuh kecemasan membuatnya oleng, kala motor putih tanpa lampu berbelok ke arahnya, moncongnya langsung menabrak Yera hingga cowok itu terhempas beberada depa.

"Bagaimana, sih? Hati-hati, dong!" Bentakan pria jangkung itu bersahutan dengan bunyi bedebam kencang. Tubuh Yera bergerak kalut, mengabaikan kaki kirinya yang terkilir, ia bangkit. Mendorong lelaki yang hendak membantu dan melangkah terseok ke arah gadis itu.

Dan jantung Yera tercabut paksa begitu Velia dibekap dan diangkat kasar ke dalam mobil hitam besar itu.

"Velia! Tidak, tidak, TIDAK!" Sekuat tenaga Yera mengejar mobil yang masih melambat karena harus berbelok menuju jalan lebar. Terseret-seret Yera melangkah, diiringi deru napas dan desisan perih begitu tulang rusuknya seakan patah. Sekali lagi ia mengulurkan tangan, tinggal tiga meter sebelum telunjuknya mencapai plat mobil itu. Namun, saat ada cela, mobil langsung memutar stir dan melaju kencang. Membuat Yera panik dan memaksa diri agar berlari lebih cepat.

Bunyi klakson bersahut-sahutan kala ia hendak menginjakkan kaki ke luar trotoar.

Tidak bisa. Jalanan terlalu padat. Membelah lautan kendaraan dengan tubuh tak seimbang sama saja dengan bunuh diri. Bibir bervolume itu gemetar, gigi gerahamnya saling bergemelatuk kasar. Kepalan tangan Yera mengencang. Saling meremat hingga kuku-kukunya tertancap di sana.

Bukan seperti ini.

Velia dalam bahaya. Hanya itu yang berputar kencang di dalam kepala Yera.

Karena itu, tanpa melambatkan seretan kaki yang terasa amat ngilu, Yera berbalik. Melangkah terburu menuju RedHonda dan memutarnya gila. Melaju secepat kilat dengan stir yang nyaris remuk karena cengkeramannya begitu kuat.

Pikiran lelaki itu kosong. Tak ada hal lain selain pekikan nama gadis yang paling mengganggu ketenangannya selama ini.

Velia.

***

Bulu mata itu berkedip lemah sebelum kelopaknya terbuka. Tak ada bias cahaya yang menusuk retinanya. Maka ia terpejam kembali, menajamkan pandangan, tapi memang tak ada lampu.

Velia melirik sekitar. Bau pesing, lumut yang basah, dan alkohol menyerang penghidunya. Cemas mulai melanda. Segera ia bangkit ingin kabur. Namun, Velia kembali tersentak karena tubuhnya terikat di kursi.

Kalut Velia melirik sekujur tubuhnya. Dan benar, ada lilitan tambang berbau lumpur yang menempel erat di perut, lutut, dan kedua tangannya. Perih tak tertahan mulai merambat. Kenapa semua luka selalu berpusat di sana? Astaga, luka lepuhnya masih membara di sana! Serat kasar tali gemuk ini benar-benar menyiksanya. Sontak Velia mengerang, tapisemakin ia bergerak, hanya gesekan linu yang membuatnya menggigit bibir pening.

[END] Dadah, Mama!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang