40 | Kesempatan

2.3K 129 57
                                    

Sudah tengah malam. Guntur dan kilat tumpang tindih mengukir kengerian di cakrawala. Gumpalan kapas hitam semakin pekat nan berat, tapi tak kunjung meluruhkan tangisnya.

Yera kehabisan akal. Berjam-jam ia mencari ke seluruh pelosok kota. Kemana pun, hingga ia nyaris melewati perbatasan kota saking paniknya. Ia terus melaju, mencari dan mencari hingga motornya mengalami masalah dan mogok kala ia masuk ke sekitar rumah Velia.

"Motor sialan!" Dengan kasar ia meninju stir dan jok mesin yang panas. Keadaan cowok itu amat mengenaskan. Kaus putihnya lengket ke tubuh atletisnya, dipenuhi berliter-liter peluh dan detakan dada yang terus meningkat. Untuk kesekian kalinya, Yera meremas rambut acak-acakannya hingga tempurung kepalanya menegang.

"Sebenarnya kau di mana, hah?!" Yera mendesis berang sambil menatap truk-truk besar yang membawa limpahan pasir untuk pembangunan. Pandangannya memaku langit yang masih tak menampakkan cahaya. Gigitan pipi dalamnya kian kuat. Yera menunduk kalut, menarik napas panjang, kemudian mengambil langkah lebar menuju rumah Velia yang tak jauh dari radiusnya.

Kedua tangan Yera terkepal. Buku-buku jarinya memutih hingga kuku. Dagu lelaki itu dipenuhi keringat. Cairan panas terus mengalir dari ujung rambutnya, membasahi pelipis dan membalut wajahnya yang kian mengilap terang.

Dan sepasang mata yang berkaca-kaca.

Angin malam yang makin kencang membuat kaus Yera mengambang lebar. Menusukkan suhu beku ke dada membaranya. Seiring dengan langkah kaki oleng yang berjalan cepat.

"Velia-Velia-Velia!" Ia terus menyebut nama gadis itu. Berulang kali, hingga mulutnya kebas saking pegalnya. Karena pertahanan Yera mulai runtuh. Hanya dengan menyebut nama Velia, gentar dan tekad yang kian surut kembali bertahan.

Seperti dirinya dulu, yang selalu mengandalkan tawanya demi menghapus jejak luka.

Senyum cewek itu ... muka lugu dan bibir tipis merah jambunya....

"Kumohon, biarkan aku melihatmu sebentar!" pekiknya lirih. Air mata kian menggunung di pelupuk. Tungkai kakinya kian mati rasa. Sol sepatu olahraganya terkikis kuat, membuat langkah Yera tak seimbang. Mati-matian ia menyeret kaki kirinya agar terus berjalan. Melewati batang lampu jalan yang menampakkan siluet ganjil yang tampak mengenaskan itu.

" ... kau di mana?" Suara bariton itu makin serak. Kelopak matanya kian berat, tak mampu menampung genangan pedih itu lagi. Rahang Yera mulai gemetar. Pandangannya mengabur, terlalu gelap hingga ia menyeka air itu kasar sambil terisak keras.

"Tolong, Velia. Biarkan aku menemuimu. Aku mohon!" Yera membentak putus asa. Tinggal empat rumah lagi, ia akan sampai di tempat gadis itu. Namun, langkahnya kian memberat. Hampir Yera menyerah dan meluruhkan tubuhnya ketika bayangan sosok berkaus penuh darah ke luar dari gerbang. Bibir basah Yera membeku. Terbuka kaget kala sorotannya semakin menajamkan penglihatan yang kian saru.

"Velia...?" Sekuat tenaga Yera berlari menuju arah cewek itu. Secepat mungkin, sampai tak memerhatikan batu-batu besar yang berceceran bekas bawaan truk tadi. Gumpalan keras itu menahan sepatunya, dan tanpa bisa ia cegah, kaki kirinya terhantam hingga tubuh tinggi itu terjerembab ke aspal.

Velia bergerak kaku. Mulutnya terkunci rapat, bibir pucat itu dilumuri darah anyir yang masih tak henti ke luar dari lubang hidungnya. Puluhan sayatan, bekas gigitan dan aroma menjijikkan bergantian menusukkan luka ke jantung keroposnya.

Gadis itu berjalan miring, terantuk-antuk dengan mata membulat kosong. Ia tak mengatakan, tak berpikir apa pun sejak ia keluar dari rumah bagai neraka itu. Raungan sinting Hana mengiring langkahnya kian cepat. Membuatnya semakin tak punya alasan untuk bernapas di sana.

Tidak ada kesempatan lagi.

Waktunya sudah habis.

Satu-satunya alasan kuat yang membuat ia bertahan selama ini telah lenyap.

[END] Dadah, Mama!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang