Yera masih menjinjing buku Neurointervensi sembari meninggalkan perpustakaan kala pandangannya jatuh ke Fial. Gadis itu tumben-tumbenan duduk di tangga panjang berbahan semen di unduk paling atas. Beberapa mahasiswa melakukan hal yang sama. Tangga itu lumayan ramai, karena sekarang tengah pukul tiga sore. Jam-jam free sebab biasanya dosen bakal masuk pukul setengah empat.
Ah, setelah sambungan telepon malam itu, Yera belum ada kesempatan menemui Fial. Mungkin lebih tepat disebut Yera sengaja?
Dia butuh waktu untuk memahami dirinya sendiri.
"Lagi apa?" Grasak-grusuk dan langkah kaki di sebelahnya membawa mata Fial terbuka. Dua buku berada di pangkuan gadis itu. Kuku ibu jarinya berada di selipan buku, sepertinya sempat Fial baca, tapi tertutup perlahan kala perhatian cewek itu tak lagi tertuju pada benda itu.
"Yera? Uhm, aku ... tadinya mau belajar, sih, tapi malah ngantuk." Fial meringis dan mengeluarkan jemarinya yang tertekan lembaran buku. Angin sore menerbangkan helai rambutnya. Wajahnya iterangi sinar matahari yang redup, bikin Yera mampu melihat raut lelah di retina Fial.
Ada jeda menetap selama beberapa detik.
"Masih sakit? Maksudku, keadaanmu."
Binar cerah timbul sedikit di wajah Fial. "Oh, itu ... aku lebih baik, berkatmu. Kau pasti bingung, ya, aku tiba-tiba bicara begitu? Aku ... yah, begini keadaanku yang sebenarnya. Aku tidak senang, tidak baik-baik saja. Sebelumnya, kupikir menyembunyikan segalanya dari semua orang dan berpura-pura tidak terjadi apa-apa akan membantuku melupakan masalah itu, tapi nyatanya, mentalku hanya kian memburuk." Fial menatap Yera bersalah. "Dan kau malah kena getahnya. Kau bisa melupakan itu, abaikan. Anggap aku tidak pernah mengatakan semuanya. Kau bisa bersikap santai seperti biasa. Aku tidak akan menempelimu karena kau bersikap baik dan bersimpati malam itu. Tenang saja, Yera."
"Bagaimana cara membuatmu jadi baik-baik saja?"
Fial menoleh. Terik matahari menyilaukan pandangan, tapi Fial bisa melihat sorot mata Yera yang teduh, memandangnya.
"Kalau aku bisa membuatmu jadi lebih baik, maka aku tidak akan berhenti melakukan itu. Kenapa kau menyuruhku menjauh? Terlepas dari urusan kita dua tahun lalu, sekarang, artiku bagimu pasti sudah berbeda. Aku ingin melindungimu, Fial. Aku tidak mau kau sakit sampai bunuh diri."
Kelopak mata Fial berkedip.
Yera bergerak menyerong menghadap Fial, membuat Yera lebih jelas menangkap wajah tercenung Fial.
"Fi, aku tidak pa-pa kau gunakan untuk membuatmu sembuh. Sungguh. Andalkan aku saja. Aku akan berusaha selalu ada untukmu. Apa kau mau melakukan itu? Menghubungiku, memberitahuku setiap hal tentangmu, dan perkataan tersulit yang tidak bisa kau katakan pada orang lain. Aku mau kau terbuka padaku. Bisakah?"
Terserah itu Fial atau orang lain.
Yera tidak akan membiarkan orang-orang di sisinya terenggut kembali.
Yera ... tidak mau lagi kehilangan.
Lagipula, terlepas bahwa hatinya bukan lagi untuk Fial, tetap saja cewek itu pernah menjadi sangat berarti untuknya.
Masih ada kepingan yang membuat Yera tak bisa memalingkan muka dari Fial. Dia peduli, dia harus mengulurkan tangan untuk gadis yang pernah disayanginya.
Pemikiran Fial benar. Kemungkinan Yera masih menyukainya tak lagi perlu Fial tutupi. Kenyataannya, Yera yang lebih dulu datang dan memberikan hatinya untuk Fial.
Fial tersenyum. Kala anggukan bahagia itu tampak, Fial sudah memutuskan.
Dua pria telah berikrar tak akan pernah meninggalkannya. Namun, hanya satu yang akan Fial pandang, terus Fial terima uluran tangannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
[END] Dadah, Mama!
Teen FictionBullying, kekerasan dari Mama sendiri merusak jiwa Velia perlahan sampai dia stres hingga depresi. Satu-satunya sahabat menatap dia rendah setelah tahu Velia menyukainya, membiarkan ia tenggelam sendiri dan memilih bersandar ke sosok baru. Penghinaa...