50 | Kebetulan

31 2 0
                                    

"OSPEK hari ini lancar. Dari presentasi dosen, pertunjukan tiap organisasi kampus, game, sampai acara penutup yang dipandu band kampus, semuanya tidak ada masalah. Ah ... harusnya kau ikut acara makan malam sama semua panitia, Yer! Tidak seru sekali!"

Yera tertawa kecil mendengar gerutuan Resan. Ia berjalan di koridor lantai delapan. Gedung tempat les ini dua kali lipat lebih jauh dari kampus, tapi Yera tak tertarik untuk pulang cepat. Toh, tidak ada hal menyenangkan yang menanti di rumah.

"Mau bagaimana lagi? Sekarang saja aku baru selesai les OSCE. Ini baru mau ke parkiran." Yera masuk ke lift, menekan angka satu, dan dalam beberapa detik, lift membawanya ke lantai dasar.

"OSCE? Bukannya cuma UKMPPD, ya? Itu les apa lagi?" Yera menaikkan tali ransel yang merosot. Bawaannya hari ini banyak sekali. Pundak Yera pegal.

"Objective Structured Clinical Examination, yah semacam tes begitulah. Kalau UKMPPD, les itu selesai jam delapan."

"Jadi kau baru mau pulang sekarang?" Resan terdengar kaget sekali. Yera terkekeh sambil melangkah keluar lobi dan menghampiri motor sport merahnya.

"Ini lebih cepat, sih, dari biasanya. Kalau bukan jam satu, aku pulang jam dua belas. Kau beruntung teleponmu kuangkat." Yera bergurau, tapi tak mendapat tawa dari Resan. Ketua BEM itu terdiam cukup lama, membuat Yera sempat mengira panggilan mereka sudah berakhir.

"Res?"

"Yera, kau ... tidak capek?"

Yera menjatuhkan ransel besarnya ke jok motor. Mantel cokelat muda yang ia pakai jadi miring, tapi tak Yera pedulikan. Ia lebih fokus menunduk, menjatuhkan telapak tangannya ke tempat duduk motor. Yera menarik napas dalam-dalam, kemudian membuangnya lambat.

"Hm. Siapa yang tidak capek kalau begini?" jawabnya sarkas, lebih ke menertawai diri sendiri. Yera mendengar Resan menjauh dari keramaian, mungkin cowok itu keluar dari kafe.

"Terus kenapa masih kau lakukan kalau melelahkan? Kau bisa belajar seperti cara anak-anak yang lain. Cukup belajar di kelas, tidak ikut-ikut les atau bimbel lagi. Kau bisa melakukan itu, Yer. Kenapa harus sampai sesibuk ini?"

Helai rambut Yera jatuh ke leher bagian depan cowok itu. Rahang yang lebih kurus itu bergerak sedikit, menandakan bahwa percakapan ini mulai tak nyaman baginya.

"Yer, sudah satu tahun loh."

Yera tahu arah percakapan Resan menuju kemana, dan Yera tak mau membahas itu sekarang.

"Sudah dulu, ya? Aku lapar, belum makan dari siang. Ini aku sudah mau pulang. Kalau besok ada masalah lagi, telepon aku saja."

Resan diam. Bisa Yera rasakan kekhawatiran sahabatnya, tapi Yera sungguh kehabisan tenaga untuk mengingat alasan ia menjadi sekeras-kepala ini. Belajar mati-matian tanpa jeda, padahal menyukai kedokteran saja tidak.

"Ya sudah. Kau hati-hati pulangnya, jangan lupa istirahat. Kau tidak lupa masih punya tifus, 'kan?"

"Hh-hm."

Telepon terputus. Yera memandang layar smartphone-nya hingga ponsel itu meredup dan mati, baru Yera menutup mata. Napasnya terembus berat.

Ini melelahkan sekali.

Yera benar-benar capek.

Tapi ego itu, ego yang Yera tanam sendiri dalam benaknya sejak tahun lalu itu ... tak akan mampu dimatikan oleh beribu rasa lelah sekalipun.

Yera mengeluarkan motornya dari parkiran, menyalakan gas, dan meninggalkan gedung les dalam diam.

Ada satu hal yang membuat Yera tetap hidup sampai kini. Janji ... yang membuat Yera kembali bangkit dan mengikuti ujian akhir SMK meski mentalnya benar-benar hancur.

[END] Dadah, Mama!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang