"Aku mau menanyakan soal Geo. Kau tahu kabarnya?" Ada sisi di hati Fial yang terenyuh kala mendengar tuturan pertama Yera. Kafetaria lumayan lengang sore ini. Duduk berhadapan dengan Yera dan dibatasi meja warna cokelat, perlahan membuat Fial sadar, kenapa Yera bisa sesantai ini menghadapinya.
"Geo? Aku tidak tahu. Aku memang sempat dekat dengannya dulu, tapi," Fial mengatup bibirnya. Sial. Ia menyorot Yera yang menunggu kelanjutan perkataannya.
"Aku tidak pernah dengar soal dia lagi setelah itu." Fial menunduk kala omongannya berakhir. Rasa tak nyaman menyusup masuk. Dia memang seburuk itu. Fial tak bisa menghitung berapa kali dia mempermainkan Yera? Cowok itu mungkin tidak tahu betapa jahatnya Fial bertemu dengan lelaki berbeda ketika Yera terus menelepon dan menanyakan kabarnya lewat chat. Atau mungkin Yera tahu?
"Ah, begitu." Sayang sekali. Padahal, Yera kira Fial akan membantu banyak soal ini. Kalau begini, ia harus mencari cara lain untuk menemukan Geo.
"Ya sudah, aku cuma mau menanyakan itu. Kau sudah mau pulang, 'kan? Aku tidak mau menahanmu terlalu lama. Makasih sudah mau meladeniku. Aku pergi." Yera memasukkan tali ransel ke pundak kemudian berdiri, membuat kursi hijau muda itu terdorong ke belakang.
"Yera."
Suara kecil Fial mengalihkan atensi Yera. "Hm?"
Kuku Fial bertumpuk saling menggesek. Kelebat pikiran silih berganti menyerang kepalanya, tapi Fial tidak tahan. Pertanyaan ini memupuk benaknya, membuatnya pusing, terus bertanya-tanya, tapi tak menemukan jawaban kalau bukan dari Yera sendiri. Karena itu, Fial mendongak.
"Kau membenciku?"
"Benci?"
"Aku melakukan banyak hal buruk padamu dulu, tapi kenapa kau bersikap begini sekarang? Terlalu santai seakan kita cuma teman sekelas yang tak punya masalah apa-apa?"
Yera melepas kacamata sambil mengembuskan napas. "Aku sudah lupa semua itu. Semua itu sudah tidak penting sekarang. Untuk apa aku mempermasalahkan sesuatu yang sudah selesai? Lagipula, saat itu aku memang bodoh, makanya kau selalu beralih ke orang lain saat membutuhkan sandaran. Itu juga yang kau pikirkan, 'kan?"
Kelu. Cewek itu tak bisa berkata-kata.
"Aku tahu aku buruk saat itu, bukan cowok yang baik untuk melindungimu, dan aku sudah menerimanya. Aku tidak ada dendam atau perasaan sakit lagi padamu. Apa kita tidak bisa bersikap santai seperti teman? Kalau kau juga tidak nyaman dengan ini, aku bisa mengubahnya. Gampang."
Ini bukan Yera yang memohon-mohon demi mendapat maafnya. Dia bukan cowok culun yang cuma tahu soal menutup pundak atau paha Fial yang terekspos dengan jaket.
Yera berubah.
Cowok itu melirik jam tangan di pergelangan. "Sudah tidak ada yang mau kau tanyakan? Aku pergi, ya. Jus apelmu sudah kubayar. Kau santai saja di sini. Dah." Punggung Yera menjauh, kian tak digapai pandangan Fial saat cowok itu melewati pintu kafetaria. Fial menjatuhkan kepala, memandang pipet jus apelnya yang lesu, sama seperti perasaannya kini.
"Kau benar. Sudah tidak ada masalah, tapi kenapa aku tidak bisa santai?"
Fial meninggalkan semua orang di masa remajanya. Ia sengaja memutus kontak dari Oda, Tena, maupun cowok-cowok satu sekolahnya.
Fial merasa tak ada gunanya terus berhubungan dengan mereka, sebab hanya akan semakin memperburuk keadaannya yang sudah hancur.
Saat terendah dalam hidupnya, ketika orang tua yang tak pernah meliriknya hampir memutuskan bercerai, bahkan bertengkar dan saling membentak di hadapan Fial yang baru pulang sekolah, sungguh tak bisa Fial hadapi.
KAMU SEDANG MEMBACA
[END] Dadah, Mama!
Teen FictionBullying, kekerasan dari Mama sendiri merusak jiwa Velia perlahan sampai dia stres hingga depresi. Satu-satunya sahabat menatap dia rendah setelah tahu Velia menyukainya, membiarkan ia tenggelam sendiri dan memilih bersandar ke sosok baru. Penghinaa...