"Geo, Nak, mau Bunda buatkan kopi?" Merisa mengintip di balik pintu yang terbuka sedikit. Geo pulang jam enam sore. Putranya sempat menyapa dengan menghampiri Merisa ke dapur, bertanya apa saja yang Bunda lakukan hari ini?
"Tidak usah, Bun. Aku mau istirahat saja." Geo melempar senyum kecil. Merisa mengangguk, tak lagi bertanya dan menutup pintu. Wanita paruh baya itu berdiri cukup lama di depan kamar Geo. Ia khawatir. Kebiasaan putranya tak pernah berubah sejak tahun lalu. Semenjak insiden yang membuat Geo drop parah, memandang langit dari jendela menjadi hal yang menarik perhatian Geo. Merisa sering mendapati Geo berdiri di dekat jendela, atau duduk di tepi kasur, memandangi gelapnya langit tanpa dikawal penerangan apa pun. Saat melakukan itu, Geo akan bungkam. Tak melakukan apa-apa, hanya sesekali berkedip dengan pundak yang tidak tegak.
Apa yang sebenarnya Geo pikirkan? Merisa selalu ingin bertanya, tapi keberaniannya menguap tiap melihat Geo seperti itu. Sisi yang tak pernah Merisa lihat di diri anaknya, sisi tenang dan menderita yang tampak jelas di wajah si putra tunggal. Geo tidak menangis, tidak juga tersenyum. Hanya diam, tapi kenapa Merisa merasa hatinya berdenyut sakit tiap melihat Geo seperti itu?
"Seberat apa beban yang kau bawa, Nak?" pilu Merisa. Ia melangkah ke kamarnya. Saat Ayah Geo pulang, Merisa akan menanyakan apa Geo perlu dibawa ke psikiater lagi?
***
Rasa bersalah teramat besar terus membelenggunya. Kematian gadis yang pernah disukainya adalah akibat dari sikap buruk yang tak termaafkan. Geo berengsek. Geo adalah cowok bajingan yang tak 'kan pernah menerima maaf.
Geo terus melanjutkan hidup. Berlatih di studio dan bercanda dengan member Areas, dan sesekali berunding kala permasalahan menghinggapi band mereka.
Pelajaran yang dia dapat di kampus cukup menyenangkan. Ayah dan Bunda selalu mendukung, bahkan sempat menawarkan Geo supaya belajar musik di luar negeri. Teman-teman yang baik selalu mengelilinginya. Geo punya Akra yang tak pernah meninggalkan dia. Cowok berambut ikal yang selalu berhasil membuat Geo tenang saat depresi.
Namun, nyatanya semua tak semudah itu.
Air mata meluncur jatuh, mengaliri pipi yang terhalang helm sport. Cengkeraman ke stir menguat. Geo melajukan motornya tanpa arah. Sesak tanpa akhir terus menyekapnya. Jam dua belas malam, Geo memutuskan keluar mencari udara segar. Ia tak menghubungi Akra atau Fero, walau jelas-jelas mereka mewanti agar Geo terus menelepon saat butuh untuk ditemani. Akra yang paling sadar betapa seriusnya kondisi mental Geo saat ini.
Tapi sesekali, Geo ingin sendiri. Ia butuh keheningan yang panjang, meski kesepian akan semakin menyelimutinya, hanya lewat cara itu Geo bisa mengerti apa yang dirinya rasakan. Luka ini membentuk labirin di dalam hatinya. Beribu perasaan tersimpan di sana, kadang keluar bersamaan, sampai Geo bingung, apa yang sebenarnya tengah ia pikirkan? Kenapa ia menangis, kenapa hatinya teremas sakit tanpa ada sebabnya?
Dan kini, beban di kepalanya penuh, beragam perasaan sakit menusuk-nusuk nuraninya. Genggaman ke stir motor itu bergetar. Anxiety menyerang vokalis Areas.
Apa yang harus Geo lakukan untuk menebus kesalahannya?
Tidak ada cara, tidak ada petunjuk. Penderitaan tak berujung terus merajam, menekannya hingga rasanya Geo hampir mati.
Ia terisak keras. Napasnya tersendat. Air mengalir deras di kedua matanya. Sakit ini tak pernah berakhir. Denyut mematikan ini akan membunuhnya.
Apa dengan begini kau akan bahagia? Berapa lama aku harus menderita agar kau sembuh, Velia?
***
"Jangan sentuh aku dulu. Aku tidak mood." Bara tidak jadi merangkul Gelia. Muka tengil cowok itu berubah serius. Galuh, Bayu, dan yang lain sudah bergabung di dancefloor. Musik di club bising sekali, tapi Bara tetap menangkap raut jutek cewek mungil di dekatnya.
"Kalau ada apa-apa, katakan padaku, hm?" Bara tak pernah memaksa Gelia membuka diri. Lebih tepatnya, tidak ada yang berani.
Bara bergabung dengan Galuh begitu Gelia mengangguk. Cewek itu keluar dari club dengan cepat, menghampiri WhiteMazda mencoloknya dan masuk ke jok kemudi. Gelia menyalakan airconditioner. Ia butuh udara dingin untuk menyegarkan kepalanya.
Ini semua mulai membosankan.
Bermain dengan puluhan teman, bersenang-senang dengan satu-dua cowok kala bosan, rutinitas kampus yang makin padat, dan beruntut masalah dari orang-orang yang menyimpan dendam padanya.
Kemewahan dan ketenaran ini lama-lama membuat Gelia muak.
Gelia memandang langit-langit mobil, menengadah tanpa niat mengubah posisi. Ia memejamkan mata. Garis-garis kerut mencuat di keningnya. Gelia tidak tahu apa sebabnya, tapi kenapa dia bosan sekali?
Segala kegembiraan yang muncul saat menaklukkan cowok, mendapat atensi dari nyaris semua orang, dan perasaan dongkol kala perempuan melabraknya, semua itu sudah tak ada nyawanya di mata Gelia.
"Sesuatu. Aku butuh sesuatu." Bibir itu melirihkan kalimat yang sama. Kepala Gelia sakit. Ia tak tahan dengan kebosanan. Hidupnya harus selalu dipenuhi gegap gempita, percikan yang bisa membuatnya bersemangat, tapi apa?
Gelia mengusap bibir menggunakan ibu jari, berpikir beberapa waktu. Shopping? Jalan-jalan? Makan sesuatu yang belum pernah ia coba sebelumnya?
"Ah, membosankan sekali!" Ia membenturkan kepala ke stir, mendesah frustrasi. Kaki terbalut boots hitam itu mengentak kesal.
Gelia mengangkat muka setelah puas memekik sinting. Rambutnya acak-acakan. Dahinya memerah, berbentuk persis seperti garis-garis yang ada di stir mobil. Ia melempar pandangan ke pavingblock depan club. Sesekali ada yang masuk, tapi kebanyakan sepi. Itu sebabnya saat motor yang sempat dituduh Gelia curi itu memelan dan berhenti di tepi jalan, radar liar Gelia langsung berbunyi nyaring.
"Oh? Itu...." Plat yang sama. Warna biru mentereng yang sama. Gelia tak mengalihkan perhatian. Ia menangkap segala gerak-gerik Geo. Cowok itu diam cukup lama, punggungnya naik turun seakan tengah sesak napas. Beberapa menit kemudian, helmnya Geo lepas. Gelia bisa melihat rambut Geo yang berantakan. Cowok itu menoleh ke club, menimang apa ini keputusan benar? Mencari peralihan ke alkohol lagi?
Ketika Geo tenggelam dalam pikirannya, Gelia justru tertegun.
"Dia menangis lagi?!" Berapa kali pun Gelia melihat, tetapterlihat jelas jejak basah di wajah cowok itu. Gelia terperangah. Like, what?
Dan kenapa Gelia tidak bisa melupakan sorot mata itu meski Geo sudah kembali memasang helm dan menyalakan mesin motor?
Pupil itu menyorot sendu, berkali-kali lipat lebih gelap dari mata tajam Revan. Luka macam apa yang cowok itu simpan sampai dia tampak begitu menderita?
Kasihan sekali.
"Hm." Bibir yang dari tadi cemberut bosan, perlahan membentuk lengkungan. Kian lama, menjadi semakin lebar.
"Kasihan sekali." Omongannya berbanding terbalik dari senyum lebar yang ditunjukkan. Gelia mengeluarkan mobil dari parkiran club, membawanya ke jalan raya dan mengikuti rute yang Geo lewati. Cowok itu sudah berada tiga puluh meter di depannya, tapi siapa peduli?
"Kau menggemaskan sekali. Seperti anak anjing. 'kan, jadi mau kuelus-elus," gumam Gelia sambil senyum-senyum. Ia menekan pedal gas, mempercepat WhiteMazda-nya kala ia masuk ke daerah yang sepi. Kecepatan mobil Gelia melampaui rata-rata. Cewek itu menggerakkan stir dengan lincah, melewati beberapa kendaraan yang menghalangi. Kala ia menangkap keberadaan YamahaBlue Geo, dengan gesit ia melajukan mobil dan berbelok memblokir jalan untuk cowok itu, otomatis membuat Geo mengerem mendadak.
Asap terembus dari mobil Gelia, juga dari gesekan cepat di bawah ban Geo. Mata cowok itu melebar. Jantung Geo bertalu-talu. Apa ia menabrak orang? Apa kali ini ia membunuh orang dengan tangannya sendiri?
Jendela pintu WhiteMazda itu perlahan turun. Geo memaku pandangan ke sana, dan melihat seorang cewek yang mengguyar rambut panjangnya kemudian menenggerkan siku tangan ke pintu. Cewek itu menoleh. Senyum terukir cantik di kedua bibirnya, mata Gelia membentuk bulan sabit.
"Hai." Ia dadah-dadah.
Well, kurasa ini akan menarik.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
[END] Dadah, Mama!
Teen FictionBullying, kekerasan dari Mama sendiri merusak jiwa Velia perlahan sampai dia stres hingga depresi. Satu-satunya sahabat menatap dia rendah setelah tahu Velia menyukainya, membiarkan ia tenggelam sendiri dan memilih bersandar ke sosok baru. Penghinaa...