04 | Tak Mau Baper

561 60 1
                                    

"Apa susahnya, sih, membantuku sebentar saja?" Pundak Velia didorong cukup kencang oleh telunjuk kekar Iwan–teman sekelasnya. Kepulan asap kelabu menguar bersatu dengan udara pagi di belakang sekolah. Gadis yang menutupi seluruh tubuhnya dengan hoodie ungu itu sontak terjengkang ke belakang. Keseimbangannya tak berarti apa-apa jika sudah dihadapkan dengan kekuatan Iwan. Velia menyorot cowok hitam di depannya takut.

"Aku cuma mau kau mengerjakan proyek sejarah Geo! Kalau tidak mendesak, aku juga tak akan menyuruhmu."

Netra abu-abu setajam elang itu menatap Velia yang bersandar ke tembok mengintimidasi. Badan besar nan kekarnya mendekat, berusaha menipiskan jarak yang tersisa. Velia menutup mata rapat dengan alis mengernyit begitu hidungnya menghirup asap rokok murah yang sengaja Iwan embuskan. Refleks dia terbatuk-batuk penuh sesak.

"Aku tidak berani bertemu cowok yang tidak kukenal, Wan. Aku juga tidak punya waktu untuk itu. Mama bisa marah kalau aku ketahuan pulang telat lagi," jelas Velia dengan sorot memelas. Manik cokelat bulatnya bergetar begitu Iwan menggemeretakkan gigi kesal dan mencengkeram kedua bahunya kuat, merematnya tanpa ampun.

"Ugh ... kau---kau mau apa?" tanya Velia takut kala mendapati wajah Iwan yang kian dekat dari ujung hidungnya. Bagaimana ini? Lapangan luas di sini jarang dilalui orang-orang. Kalaupun Velia berteriak sekuat tenaga, apa ada yang sudi menolongnya setelah melihat sosok besar Iwan? Cowok ini bahkan berani merokok di sekolah tanpa khawatir ada yang memergoki dan melaporkannya. Kekuasaan bak preman pasarnya Iwan gunakan seliar mungkin.

"Jangan banyak bicara, deh. Turuti saja apa mauku, kalau kau tidak mau aku melakukan sesuatu pada tubuh jelekmu ini," ancam Iwan sembari melirik ke ujung converse hitam Velia lalu beralih ke atas dengan sorot menjijikkan.

"Aku mau! Ja–jadi, lepaskan aku," pinta Velia tanpa pikir panjang. Terserahlah! Dia sudah tak mampu melawan kalau Iwan mempertaruhkan harga dirinya. Hidup Velia sudah cukup rumit. Dia tak mau kalau nanti ada desas-desus tak mengenakkan yang sampai ke telinganya bahkan ke Hana. Maka dari itu, dia mendorong dada Iwan menjauh dengan tangan gemetar.

"Bagus! Pas pulang sekolah nanti, tunggu dia di perpus. Kau harus tetap di sana sampai dia datang. Awas kalau kau berani pulang! Aku tak akan berhenti mengganggumu kalau kau lalai dari kerjaanmu," tekan Iwan penuh ketegasan.

Velia hanya mengangguk samar dan membiarkan Iwan pergi. Cowok itu menginjak puntung rokok hingga baranya mati lalu menendangnya ke semak-semak yang menjulang cukup tinggi.

Setelah bayang Iwan menghilang dari pandangannya, Velia baru mampu bernapas lega. Poni yang turun untuk menutupi bekas luka di keningnya berayun mengikuti kuciran rambutnya saat Velia menunduk. Dia menghela napas dalam-dalam.

Velia pun mengangkat tungkai kakinya meninggalkan semak duri yang mulai menempeli rok selututnya. Sebelum melanjutkan langkah ke kelas di lantai tiga, dia menunduk dan fokus mengelupaskan duri yang membuat kulit pahanya tersengat saat berjalan. Ada cukup banyak, jadi Velia harus membiarkan waktu sarapannya tergantikan untuk ini. Huh!

"Velia, kau dari mana?" Sepatu hitam berlogo Fila yang sangat Velia kenali berhenti di hadapannya. Velia mendongak dengan muka berbinar.

"Yera!" Cepat-cepat dia berdiri dan menampilkan senyum lebar dengan jantung berdegup lebih hebat dari biasanya.

"Aku tanya kau dari mana? Kenapa pakaianmu penuh semak begitu? Kau habis ke belakang?" tuntut Yera bertubi-tubi, membuat Velia gelagapan. Ada gurat kekhawatiran tersembunyi di balik iris hitam pekat cowok itu.

"Tidak ke mana-mana, kok. Tadi aku cuma jalan-jalan cari udara segar. Kau tahu, 'kan, koridor kelas kita selalu penuh orang. Jadi aku ke bawah dan main sebentar. Eh, malah banyak yang menempel. Mana tajam lagi." Velia berkeluh kesah agar Yera tak menanya lebih lanjut. Dia kembali jongkok dan mencabuti tiap butir biji tanaman itu sebagai dalih.

"Harusnya kau lebih hati-hati, Vel. Bagaimana kalau ada tumbuhan beracun di sana? Sudah, biar aku saja." Yera menyingkirkan pergelangan Velia dan sibuk mencabuti benalu seperti manik-manik itu setelah ikut berjongkok di depannya. Tidak memedulikan napas tertahan Velia yang tak menyangka akan tingkah manisnya. Gilaaa! Velia tidak sedang bermimpi, 'kan? Bagaimana bisa cowok yang dia suka berlutut dan melakukan hal semanly ini? Aaah ... biarkan Velia terbang sebentar!

"Sudah. Ayo ke kelas. Kau belum sarapan, 'kan? Kebetulan aku beli roti stroberi kesukaanmu," ucap Yera sambil berjalan santai di sebelah Velia yang masih menunduk, berusaha menyembunyikan rona merah di pipinya. Gadis itu belum mampu menghentikan selip bahagia di dadanya. Perlakuan Yera hari ini terlampau jauh dari ekspektasinya. Ya ampun! Bagaimana ini?

"Hati-hati!"

Velia mengerjapkan mata kaget melihat siswa kelas sepuluh yang membawa tumpukan buku Kimia nyaris menabraknya. Waktu menyingkir, dia baru sadar ada telapak tangan yang merangkul pundaknya peduli.

Blush....

Gawat-gawat-gawat! Kenapa Yera melambungkan perasaannya terus, sih? Kalau begini, Velia bisa pingsan di tempat saking senangnya!

"Sebenarnya apa yang kau pikirkan? Kau juga tidak bicara waktu aku bertanya tadi. Kau ada masalah?" Yera yang menyadari telapak tangannya masih bertengger manis di pundak Velia segera menghempasnya ke belakang dan menggaruk pipi gugup.

"Maaf, aku tidak bermaksud."

Velia geleng-geleng panik melihat ketidaknyamanan di wajah Yera. "Tidak apa-apa. Mungkin aku akan tabrakan dengan adik kelas tadi kalau kau tidak mencegahku," cengirnya canggung. Dia mengeluskan tangan ke hoodie lembutnya kaku.

"Asssh!" Velia sontak memekik begitu kulit yang sudah lumayan sembuh itu dtertarik cukup kuat karena dia menggosoknya berkali-kali.

"Kenapa?" Yera langsung panik. Dia menarik tangan cewek itu, lantas membolakan mata terkejut kala mendapati bekas luka dan goresan tak wajar yang berkerumun. Apalagi, saat Yera menelisik tangan yang lain, dia menemukan sayatan yang sama parahnya.

"Astaga, tanganmu kenapa? Ini harus dibawa ke rumah sakit, Vel!"

Terbawa emosi membuat Yera tak sadar telah membentak Velia di tiap tutur katanya. Gadis itu pun menunduk dalam. Padahal, Velia tak ingin ada yang tahu soal luka-lukanya. Harusnya dia lebih menjaga jarak, sebab Yeralah yang paling berpotensi menyadari gelagat anehnya.

"Itu ... aku teriris pisau waktu memasak tadi malam."

"Teriris bagaimana?! Mana ada irisan pisau sampai membengkak begini? Sudah, kau duduk dulu." Yera menekan pundak Velia agar duduk tenang di koridor yang masih lengang walau sudah pukul setengah tujuh pagi.

"Aku akan ke UKS untuk mengambil surat izin. Kalau dokter sekolah belum datang, kita langsung ke rumah sakit saja. Tunggu di sini, Vel. Jangan ke mana-mana!" pesan Yera berkali-kali sebelum menuju UKS yang berada di koridor belakang.

Kala tubuh tegap itu berbelok dan lenyap dari pandangannya, Velia baru melemaskan diri. Dia mengembuskan napas panjang sambil menatap satu per satu luka di telapak tangannya.

Kelebat ingatan bagaimana Mama menekan ujung high heelsnya tanpa belas kasih dan raungan tercekik Velia malam itu menimbulkan tremor di kepalanya Cewek itu menggeleng pelan. Dia harus mengenyahkan adegan mengerikan itu agar sikap buruk Hana tak tersimpan ke dalam ingatan dan berakhir membuatnya membenci segala hal tentangnya.

Ya, untuk kali ini, Velia memaafkan mamanya kembali.

***

[END] Dadah, Mama!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang