"Pegang yang benar! Kau ini robot apa patung, bukan, sih? Dorong troli saja tidak bisa." Hana terus mengomeli tiap tingkah Velia. Dari memaksa gadis itu ikut ke supermarket tanpa mengganti seragam putih abunya, bingung memasang seatbelt, sampai menarik troli dari deretan keranjang yang merapat pun ia tak mampu. Velia benar-benar kehabisan tenaga. Rencananya, setelah pulang dari sekolah neraka itu, ia mau merebahkan tubuh lelahnya ke kasur dan terlelap sampai malam.
Jujur saja, ia masih ingin menangis.
Stok air mata di balik pupilnya kian menggunung walau sudah ia rembeskan di tengah-tengah pelajaran. Beruntung ia duduk di bangku paling belakang, jadi tak banyak yang menyadari isakan menyayat yang mati-matian ia tahan.
"Kau ini memikirkan apa sebenarnya? Hampir saja kau mempermalukanku karena telurnya tidak masuk ke troli. Fokus, Velia! Sebentar saja, apa kau tidak bisa menunjukkan kalau dirimu berguna? Kau memang menyedihkan," cibir Hana sambil memasukkan tepung terigu ke dalam keranjang merah sepanjang setengah meter itu. Wanita berkemeja biru tua dengan rok span hitam sebagai pasangan pakaian formal yang memang ia gunakan ke kantor hari ini mendengkus. Pekerjaannya tidak terlalu banyak, jadi Hana bisa menyelinap ke luar untuk berbelanja bulanan, mengingat seluruh persediaan makanan sudah benar-benar habis.
Velia tersentak merasakan cairan hangat menerpa lengannya. Cepat-cepat ia menghapus air mata yang keluar sekian kalinya hari ini. Matanya semerah darah, kelopak membengkak dan memar keunguan di bawah netra sayu itu membuatnya terlihat makin mengenaskan. Beruntung sekarang sudah pukul lima sore, jadi, tidak banyak pengunjung yang akan berpapasan dan menemukan sosok ringkih yang kehilangan energi itu.
Velia teringat saat ia menyerahkan buku catatan Yera pada cowok yang tengah menghitung keakuratan rumus aljabar meski sedang jam istirahat. Kelas sepi, Velia berusaha menenangkan dentuman hebat yang melemaskan kakinya saat pupil berkacamata itu sedikit terusik mendengar langkah kakinya.
Saat mengulurkan binder bersampul bendera Inggris itu, ia langsung tersedak ludahnya sendiri ketika Yera mendongak dan dengan abai mengambil buku miliknya kemudian kembali menekuri berbagai angka di hadapannya.
Velia mengembuskan napas setelah menariknya cukup panjang. Sepertinya, Yera memang sudah membencinya. Meski ia tak tahu apa yang menjadi penyebab kesinisan pria tampan itu, tetap saja, kegundahan dan puluhan pertanyaan yang ingin ia ungkapkan hanya menjadi angan. Toh, meliriknya saja Yera sudah mau muntah.
Velia menunduk begitu rematan kuat di dalam hatinya mendidih. Luka yang membengkak di sanubari kali ini terasa berbeda. Perasaan membuncah yang ia tujukan untuk seorang pria yang mengkhianatinya di saat-saat terakhir sungguh menghantam telak wajah pucat itu. Ia tertampar kenyataan. Bahwa selamanya, ia tak akan pernah pantas bersanding dengan cowok semacam Yera.
"Eh-eh, Bosku datang. Minggir! Sembunyi dulu. Jangan sampai dia melihat muka jelekmu itu. Sana-sana!" Lamunan Velia terhenti begitu merasakan bahunya didorong kasar ke rak sebelah dan menubruk kulkas es krim yang mengirim gelenyar perih di punggungnya.
"Uuh ...," ringisnya sambil menggigit pipi dalam kuat. Pandangannya mencari Hana. Di cela jejeran tepung dan minyak goreng, Velia dapat melihat Hana tengah tersenyum lebar dan merapikan rambut pendeknya ketika pria berumur empat puluhan menghampirinya. Entah apa yang mereka bicarakan, tetapi memerhatikan bagaimana mamanya membungkuk dan merendahkan kepalanya berkali-kali berhasil membuat Velia tergugu.
Apa Mama juga dibuli? Pikiran labil Velia mulai menghantui. Ia menggeleng, berusaha menepis gelayut aneh yang memenuhi kepalanya. Jemari lentiknya mengusap-usap punggung berlapis kardigan merah jambu yang sengaja ia pakai saat di perjalanan. Ia tak mau kalau sampai ada yang mengenalinya, karena dulu, ia pernah bertubrukan dengan Tena. Alhasil, cewek bengal itu menyuruhnya berkeliling membawakan semua barang yang hendak dibeli. Dan Velia tak mau itu kembali terulang. Sudah cukup ia merasakan tekanan batin hari ini. Badan kurusnya sungguh lemas sekarang.
"Loh? Vel? Kau Velia, 'kan?"
Guntur serasa menyentak bayangan yang paling ingin ia hindari saat ini. Sial! Bagaimana ia bisa ketahuan terus, sih?
"Emmm ... i-iya," gagapnya ragu. Ia berbalik, menelisik kaki jenjang terbalut celana hitam mengepas, dan tertegun menatap dada bidang yang ditutupi kaus putih, menonjolkan bisep yang agak berotot.
Astaga, Velia tahu aroma rempah ini!
"Wah, kebetulan sekali bertemu di sini. Kau mau beli apa?" Suara riang itu segera menghantam dentuman gila di tubuh Velia. Apa-apaan ini? Kenapa dia malah membandingkan badan tegap Geo dengan fisik atletis Yera? Sadar, Velia. Sadar!
"Hei, kau melamun?" Geo mendekatkan dirinya menatap Velia menelisik.
"E-eh? Tidak!" Kepala Velia langsung pening begitu aroma musk menusuk penciumannya. Parah! Bagaimana bisa cowok ini membuatnya mabuk hanya karena pertanyaan basa-basi?
Alis Geo bertaut melihat penampilan Velia yang cukup buruk dari pertemuan pertama mereka. Ia menepis jarak, mengulurkan tangan dan mengusap sudut mata Velia yang tergenangi kristal bening.
"Sepertinya harimu lelah sekali," ujar Geo tulus. Penuh kepedulian dan rasa hangat. Membuat niat hendak menjauh Velia urungkan. Ia menengadah, menyorot pria di hadapannya bingung. Apa maksudnya?
Dan ... mengapa bisikan rendah itu mampu menyentuh nanah yang merambati hatinya?
"Tidak apa-apa. Kau pasti bisa melaluinya." Geo tersenyum halus, begitu memikat. Mengirim ribuan sinyal tegang di otak Velia. Ah, kenapa ia malah terpesona dengan manik kelabu itu? Kernyitan tipis di alis tebal Geo seakan menunjukkan betapa seriusnya ia saat mengatakan kalimat menenangkan itu.
Tanpa sadar Velia mengangguk, membiarkan air mata perlahan meluruh kembali.
Dengan tenang Geo menghapus jejak basah di kedua pipi pucat itu, kemudian melepaskan tangkupan tangan besarnya. Membuat Velia merasakan kekosongan tak mendasar.
"Kebetulan, aku ke sini mau coba es krim yang kata teman-temanku enak. Kau mau sekalian?"
Dengan berat hati Velia menggeleng. Kepalanya menoleh, melirik sang Mama yang sudah berjalan sambil menyeret keranjang pria yang berjalan jauh di depannya. Hah ... sepertinya ia akan menunggu lama.
"Sudahlah, jangan menolak. Kau selalu saja mengabaikan semua hal yang kulakukan untukmu. Cah, sekarang pilih. Kau mau yang mana?" Tanpa menunggu persetujuan Velia, Geo langsung membuka kaca bening yang melindungi puluhan es krim beraneka rasa. Uap dingin menguar, menimbulkan sensasi hangat di kepala Velia yang terus memanas. Cewek manis itu mendesah lemah, kemudian menunjuk kemasan es krim cone cokelat yang berada di sisi kiri kulkas.
Biarlah. Mungkin, tidak ada salahnya rehat sejenak. Pikirannya terlalu semrawut. Puluhan benang seakan saling bertautan tak tentu arah dan berakhir meliilit otaknya yang akan pecah saking bingungnya dengan semua keadaan.
Sekali saja, ia ingin melepaskan semua itu.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
[END] Dadah, Mama!
Teen FictionBullying, kekerasan dari Mama sendiri merusak jiwa Velia perlahan sampai dia stres hingga depresi. Satu-satunya sahabat menatap dia rendah setelah tahu Velia menyukainya, membiarkan ia tenggelam sendiri dan memilih bersandar ke sosok baru. Penghinaa...