"Hana, aku pulang!" Bunyi beep tanda pintu apartemen telah tertutup menemani langkah Ersa menuju ruang tengah. Lelaki itu menarik simpul dasi hingga mengendur lalu melipat lengan kemeja sampai siku. Setelah meninggalkan tas laptop di meja dekat sofa, Ersa bertolak ke toilet dan cuci kaki. Memastikan dia tak membawa kuman yang bisa menyakiti Hana.
Seperti rutinitas biasanya, tak akan lengkap kalau Ersa istirahat tanpa mengunjungi kamar Hana. Hal pertama yang Ersa lihat saat mendorong pintu adalah tubuh kurus Hana. Wanita itu memakai gaun tidur putih yang menutupi hingga lututnya. Rambut panjangnya tergerai. Satu-dua helai bergerak ringan terkena angin malam dari jendela balkon yang terbuka.
"Sedang apa?" Ersa mendekat, dadanya menghangat melihat Hana tak lagi berbaring di kasur. Baru kali ini Ersa melihat Hana berpindah. Perasaan membuncah itu tak bisa Ersa tutupi.
Saat tiba di sebelah Hana dengan bibir merekah, Ersa tertegun.
Hana melipat lengan di depan dada. Angin sepoi dari lalu-lalang jalan raya terasa menusuk meski mereka berada di lantai delapan. Tak ada hal menarik untuk dilihat dari sini, hanya pucuk bangunan yang lebih pendek serta rumah-rumah penduduk yang gelap. Pekikan klakson terdengar lebih jelas dari sebelumnya, sebab baru kali ini Ersa mendapati Hana membuka jendela sendiri. Atau mungkin wanita itu sering melakukannya, tapi Ersa tak sadar?
"Velia," Hana membasahi bibir bawahnya. Jantung Ersa serasa berhenti berdetak kala Hana menoleh padanya, menunjukkan raut terluka yang amat kesakitan. "Karena akukah?"
Hening.
"Sudah pasti. Pasti karena aku." Hana mengangguk kencang, membuat rambutnya berantakan. Senyumnya terkembang, tapi hanya kegetiran yang Ersa lihat.
"Tunggu, kau---kau sudah bisa bicara? Sejak kapan? Kenapa Chandra tidak memberitahuku?" Ersa terbata-bata.
"Kenapa membantuku?" Pertanyaan Hana kali ini menyedot perhatian Ersa sepenuhnya.
"Hana, kalau aku terlambat sedikit saja saat itu, aku tidak yakin kau akan---"
"Makanya itu, kenapa kau menolongku?!" Ujaran menusuk itu membungkam Ersa. Hana memperlakukannya sama persis kala pertemuan pertama mereka. Dingin dan ketus.
Ersa membuang napas menyerah. "Karena kau penting bagiku. Apa itu salah? Melakukan segalanya buat orang yang kusayangi, apa tidak boleh?"
"HARUSNYA KAU MEMBUNUHKU SAJA!"
Ersa tak bisa mengontrol keterkejutannya waktu Hana memekik kencang. Ersa mundur selangkah, terlampau syok.
"Hana---tenang dulu---"
"Kalau kau tidak datang, aku akan mati. Aku tidak perlu mengingat itu semua lagi. Karena kau! Karena kau aku harus merasakan semua rasa sakit ini! Aaargh!" Ia menggila. Rambutnya Hana tarik kencang, ingin dirontokkan sampai habis. Pekikan gilanya terus menggema, nyaris merusak gendang telinga Ersa.
"Tidak, Hana. Jangan begini!" Sekuat tenaga Ersa menarik pergelangan Hana yang terus mencari sesuatu untuk dihancurkan. Tak adanya perabotan di kamar membuat Hana menjadikan surainya sendiri sebagai pelampiasan.
"Aku membunuhnya, Ersa. Aku membunuhnya! Aaaargh! Gila! AKU BISA GILA!"
Ersa berhasil membawa tangan Hana ke belakang punggung. Lelaki itu mendekapnya, memastikan Hana tak merasa sendirian, ketakutan.
"Aku mau mati. MATI! HAHAHA!"
"Hana, kumohon...." Ersa mengetatkan rahang, menahan tenaga Hana yang ingin melepaskan diri. Pelukannya pada perut Hana ia perkuat. Ersa tak bisa menahan tangisnya waktu punggung tangannya dijatuhi air mata wanitanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
[END] Dadah, Mama!
Teen FictionBullying, kekerasan dari Mama sendiri merusak jiwa Velia perlahan sampai dia stres hingga depresi. Satu-satunya sahabat menatap dia rendah setelah tahu Velia menyukainya, membiarkan ia tenggelam sendiri dan memilih bersandar ke sosok baru. Penghinaa...