58 | How We Talk

28 1 0
                                    

Bagas: satu jam lagi pasti kujemput. Maaf, Fial. Kau bisa menunggu lebih lama, 'kan?

"Pasti kujemput bullshit. Semuanya malah tambah merepotkan setelah kau muncul, berengsek!" Fial menggerutu pada ponselnya sambil melangkah ke lobi perpustakaan. Ia menengadah waktu gemuruh dari luar terdengar. Hujan deras yang turun tepat di depan mata Fial berhasil menurunkan tangan mungil itu, membuat ponselnya terombang-ambing di sebelah tubuhnya.

"Bagus. Sudah tidak ada mobil, bawaanku banyak, sekarang hujan. Sempurna." Fial menepuk tangan sarkastik. Ia memandangi tetes hujan yang jatuh ke tepi atap gedung. Berdiri di luar pintu perpus membuat Fial bisa mendengar jelas rintikan hujan dari seng di atas. Daun pohon kelapa di depan sana dibuat berayun saking kencang angin yang berembus.

Fial meremang. Angin ini merambatkan suhu dingin ke tubuhnya.

Seseorang ikut berdiri di sebelahnya. Fial menoleh refleks, dan mengumpat dalam hati begitu pupilnya menangkap Yera.

Cowok itu meringis. Hujan selebat ini biasanya akan berakhir dalam waktu lama. Yah, tidak masalah, sih, sejujurnya. Hari ini Yera tidak ada les, dia juga tidak ada kegiatan selain pulang sehabis ini.

Yera mengangkat alis kala menangkap gerak takut-takut cewek di sebelahnya. Fial ingin masuk kembali, sekalian menunduk, tak ingin wajahnya Yera kenali.

"Menghindariku?"

Fial menghela napas lelah. Ah elah, ketahuan....

Ia berbalik, memaksakan senyum dan menyapa sok akrab, "Oh? Kau di sini? Aku tidak melihatmu tadi, haha."

Yera berkedip. "Kau kenapa, Fi?" Maksud Yera tuh, kenapa sikap canggung Fial justru cewek itu tujukan pada Yera? Cowok yang selama ini Fial abaikan kehadirannya? Tidak etis saja begitu loh.

"Hah? Tidak kenapa-napa kok." Ia menggerakkan telapak tangan dan tertawa garing. "Aku kira tadi kau mantan satu sekolahku, jadi aku menghindar biar tidak ditanya-tanya. Kau belum tahu? Aku tidak berhubungan lagi sama orang-orang alumni angkatan kita."

Yera memiringkan kepala. "Tapi kita juga mantanan, satu sekolah lagi."

"Ah...." Fial menggigit pipi dalamnya kuat. Sial, dia salah omong lagi!

Cewek itu menunduk kian dalam, matanya jelalatan ke sana-kemari, mencari kata yang tepat untuk dikatakan. Yera menghela napas. Perhatiannya tertuju pada pundak Fial yang terbuka. Dari tadi Fial juga berjingkat merinding tiap embusan angin hujan menerpanya.

"Aku tidak bermaksud menyindirmu, Yera, tadi itu cuma refleks. Aku sungguh mengira kau mantanku yang lain, bukan betulan kau, begitu, loh. Kau tahu maksudku, 'kan? Aku tidak menghindarimu. Lagian buat apa juga? Kita, 'kan, tidak ada masalah apa-apa seperti yang kau bilang. Aku ke sini beneran cuma buat cari buku dan—"

Bibir Fial terkatup.

"Dingin. Pakai ini dulu." Dua lengan Yera melingkar di tiap sisi tubuh Fial. Fial tahu itu hanya gerakan biasa untuk memasangkan mantel pada orang lain, tak ada spesial-spesialnya. Namun, kenapa....

Rahangnya benar-benar lebih tirus dibanding dulu. Bulu matanya tidak begitu panjang, tapi membingkai mata Yera yang teduh. Pupil kelam yang menyorot mantel di punggung Fial ternyata lebih tajam dari yang Fial duga. Aroma parfum menthol serta cendana yang maskulin, juga kedekatan nyaris tanpa jarak ini ... menyalurkan debarantak menentu.

Hangat.

Cowok itu menjauh, kembali berada di jarak yang wajar seperti sebelumnya. Kini tubuh tegap Yera hanya dibalut kaus polos beserta celana kain hitam. Kausnya tidak mengepas, tapi tetap menonjolkan otot bisep di lengan cowok itu. Rambut gondrongnya tak lagi tertata waktu Yera mengangkat kacamatanya ke atas. Soalnya percikan hujan sedahsyat itu bisa mengaburkan lensa kacamatanya. Yera kembali memakai ransel penuhnya ketika menyadari perhatian Fial tak pernah lepas darinya.

[END] Dadah, Mama!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang