73 | Terima Kasih

401 8 0
                                    

Langkah sepatu pantofel Yera terhenti kala dari jarak dua meter di hadapannya, berdiri laki-laki yang membawa bunga lily.

Tatapan mereka bertemu.

Raut tegang menguar sejenak, sebelum kemudian lenyap kala Geo mendebas malas. "Kau nangis lagi?"

Yera memalingkan wajah, mengusap jejak basah di pipi. "Kau kirim mata-mata, ya, biar pas ke sini bisa papasan denganku? Dasar berengsek."

Geo berkedip. "Mumpung kau di sini. Temani aku gih."

"Ogah."

"Kau beneran dokter atau bocah, sih?"

Yera mengumpat.

***

"Yera, pasien dari Riau itu kau yang handle-kah?" Chandra menghentikan langkah Yera kala mereka bertemu di lorong pemisah antara gedung utama rumah sakit dan gedung berjeruji bagi para pasien sakit jiwa.

"Iya, Kak. Pengidap OCD."

Ucapan Yera membuat Chandra meringis. Lelaki itu menepuk pundak Yera sambil lalu. "Kau bekerja keras, ya."

Kala Chandra pergi, Yera menatap lembaran di genggamannya kembali. Obsesif Compulsif Disorder, penyakit kecemasan yang termasuk paling parah di ranah kejiwaan. Yera menarik napas dalam-dalam. Ia harus esktra hati-hati untuk pasien ini.

"Dokter, pasien dari Riau sudah siap dibawa ke gedung belakang."

"Oh, iya." Ucapan perawat itu membuat Yera mengerjap. "Mana berkasnya?"

***

"Takut ... takut ... takut!" Ia meringkuk seperti balita. Kepalanya bergerak tidak normal. Sekujur tubuhnya dipenuhi bintik bernanah yang menjijikkan. Tangannya selalu menggaruk, meski tak ada yang membuat tubuhnya gatal.

Yera mengikut paling belakang, sementara perawat pria memegang kuat lengan pasien itu dan membawanya ke kamar rawat.

Yera terus berjalan dengan mata yang sibuk membaca riwayat kesehatan pasien dari rumah sakit lamanya. Ia terlalu sibuk memahami jenis penyakit jiwa yang pria itu miliki, hingga tak ingat mencari tahu namanya.

Itu sebabnya kala Yera membalik halaman berkas ke paling awal dan membaca ketikan nama: ..., otaknya yang berpikir keras berhenti seketika.

***

Garva menoleh sekilas pada bilik berjeruji dimana seorang wanita tengah duduk termenung dengan wajah berkeriput. Ia menatapnya cukup lama, membuat perawat yang membingnya mesti menyeretnya melewati bilik Hana. Garva menjilat-jilat bibir hingga ludahnya membasahi dagu. Matanya berkedip ke atas.

***

Perempuan bongsor itu baru saja mengempaskan badannya ke kursi besi ketika mobil sedan melaju masuk ke pom bensin pukul empat pagi. Ia terpaksa bangkit, membungkuk dan bertanya, "Berapa liter, Pak?"

Ia menekan beberapa tombol kemudian memasukkan moncong tangki ke tempat bensin di bagian samping mobil.

"Semuanya empat puluh tiga ribu, Pak. Mau dibayar cash atau pakai kredit...."

Ucapan ramahnya tak berbalas. Lebih tepatnya terhenti paksa sebab selembaran uang yang kucel itu telah jatuh ke lantai sehabis dilempar telak ke wajahnya.

Oda menutup mata geram. Dengan emosi di ubun-ubun, dia memungut uang itu dan memasukkannya ke laci meja.

Tak ada yang menerima lulusan SMK bernilai rendah sepertinya. Sudah bertahun-tahun Oda mengajukan lamaran ke berbagai perusahaan, tapi dipanggil untuk wawancara pun tak pernah.

[END] Dadah, Mama!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang