26 | Sakit

357 37 0
                                    

Dengung ketukan stiletto hitam Hana menggema di lorong Rumah Sakit Pelamonia. Melihat Velia pingsan di depan matanya tak elak membuatnya panik. Kecemasan tak berperi menyerangnya, beribu intuisi seorang ibu menggejolak begitu saja.

Perasaan yang hanya didapatnya saat mendekap bayi mungil berlumuran darah tujuh belas tahun silam sempat mendengung naik.

Hana bahkan tak memikirkan lelaki yang enggan melepaskan dekapan dari putrinya dan duduk di jok belakang seakan hal itu lumrah. Namun, Hana memilih diam.

Keduanya bersisian melewati pintu kaca yang dipayungi beton hijau bertajuk UGD yang tampak lengang. Aroma antiseptik dan alkohol yang menguar tak membuat Yera terusik. Lelaki itu langsung membaringkan gadis dengan darah mengering di sekujur wajahnya ke bangsal yang paling dekat dari jangkauannya. Tangan kekar Yera gemetar kala mengusap linangan merah yang sukar terhapus. Dengan rahang bergetar, ia meloloskan kemeja putih, menyisakan kaus hitam polos yang menampakkan bayang otot dadanya. Perlahan disapukannya kain bersih itu ke bawah mata Velia, berusaha menghilangkan jejak mengerikan di wajah tirus itu.

"Aku mau tesnya dilakukan secepat mungkin. Hari ini, hasilnya sudah harus keluar!" tekannya memberi ultimatum keras. Perawat lelaki berseragam serba putih membelalakkan mata kaget melihat bercak darah yang mulai melebur. "Kenapa bisa ada darah? Dia mengalami penindasan sebelum ini?" tebaknya dengan pandangan penuh selidik. Bahu lebarnya tampak tegang, bibir cokelatnya mendesis tidak suka. Namun, ia tak mampu bertindak apa-apa jika Hana bersikeras.

"Lakukan saja apa mauku!" Bentakan melengking kembali merusak gendang telinga siapa pun yang mendengar. Yera memejamkan mata rapat, garis-garis kencang timbul di dahi berkeringatnya. Ia menoleh sambil meremas seragam sekolahnya, lantas menatap dingin perawat yang tak terlalu berbeda tinggi dengannya.

"Bukannya tes keperawanan sudah ilegal?" protes Yera dengan suara bariton yang rendah. Berusaha mengintimidasi lawan bicara. Ia tahu, sikapnya sangat tidak sopan, tetapidengan berbekal pelajaran yang sudah ia telan, Yera berusaha mencari celah.

"Itu hanya rumor. Walaupun banyak yang menentang sampai ke berbagai negara, tetap saja belum ada peraturan khusus untuk melarang tes itu. Apalagi, ini Makassar. Bukan ibukota negeri yang penuh dengan jeratan hukum. Belum lagi, jika wali pasien menyetujui, kita tak ada alasan apa pun untuk menentang." Pria itu menyahut tenang, tak terusik dengan napas memburu remaja di hadapannya.

Kernyitan Yera semakin dalam. Alis tebalnya menukik tajam, kian berang akan penjelasan yang baginya omong kosong itu. "Tapi kau tahu itu akan menyakiti harga diri Velia! Bagaimana kalau dia sadar saat tes itu? Dia akan sangat terluka." Suara tegas Yera memelas di akhir. Pandangannya jatuh ke tehel mengilap di bawah, memantulkan cahaya matahari yang kian terik pada pukul sembilan pagi.

"Uuhh...." Rintihan tak bertenaga itu terdengar. Sontak Yera berjalan cepat dan mengungkung Velia dengan tatapan khawatir.

Velia beringsut kaget melihat sosok yang sudah lama tak diperhatikannya. Ruam rindu mulai merangkaki hatinya, bersamaan dengan perasaan pedih yang menusuk sanubari. Kecemasan mulai merajai mata cokelatnya. "Aku di mana?"

Velia menajamkan pandangan yang masih buram, kemudian menggigil kala suhu pendingin ruangan yang terlalu dingin menusuk pori-pori. Bau obat-obatan sudah cukup membuatnya mengerti di mana ia berada. Pikiran Velia berusaha membentuk kepingan percakapan Hana dengan konselor. Sepertinya ia akan melakukan tes, tapites apa?

"Dia sudah bangun. Lakukan sekarang saja!" suruh Hana buru-buru. Baru kali ini ia tak mementingkan pekerjaan yang terbengkalai di kantor. Gawai hitamnya bahkan tak henti bergetar di tas laptop yang ia biarkan teronggok di dalam mobil.

Di pikirannya hanya ada satu.

Kecemasan akan kenyataan yang mungkin akan meruntuhkan pertahanannya selama ini.

[END] Dadah, Mama!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang