39 | Pengakuan

1.2K 69 3
                                    

"Aaaakh!" Jeritan melengking itu silih berganti dengan desau sabuk yang melayang brutal. Menghantam punggung kurus yang meringkuk di semen kasar bertanah kering. Seakan memberi harapan, lilitan tambang itu telah Garva lepas, bahkan ia sengaja melempar kursi hingga menubruk dinding keras.

"Mmkkkh!" Bekapan paksa yang Velia lakukan membuat pekikannya terendam. Ia meraba lantai berbau oli itu, mencari pegangan, tapi tak menemukan apa pun. Sembari melirik sekitar, ia mendapati pintu besi yang hanya dikunci oleh logam lonjong bekas pembangunan. Hanya ada mereka berdua di sini. Ia tak sempat berpikir ke mana dua pria lainnya karena Garva lebih dulu membuatnya menganga nyeri oleh cambukan di paha terbukanya.

"Tidak ada gunanya lari, Velia." Garva mendesis geram kala menyorot tangan kurus yang berusaha merangkak kabur. Sepatu bergeriginya terangkat kemudian menekan kuat punggung tangan pucat itu nyalang.

Jeritan memekikkan merebak pada gedung tua di tengah hutan yang tak mungkin didapati orang-orang. Pekikan itu berubah raungan ngilu begitu Garva memutar alas sepatunya hingga merobek kulit tangan Velia. Amat kasar, tak berperasaan.

Velia tengkurap sambil menarik kedua tangan dan menyembunyikannya kalut. Susah payah ia bangun dan mundur ke dinding gudang hingga punggung berlapis kemeja usang itu melengket erat. Sekuat tenaga ia menyatukan lutut, menelungkupkan jemari penuh darahnya dan menjadikan tengkuk sebagai tameng.

Gadis itu memejamkan mata, tersedu-sedan sambil mengernyitkan dahi sedalam-dalamnya. Tubuh mungilnya bergetar hebat. Napas terengah Velia menyendat kencang.

Kumohon ... apa tidak ada yang peduli?

Sekali saja, apa tak ada satu pun orang yang menganggapku berarti sampai sudi menolongku?

Mama ... Velia takut!

Mata cokelat itu tremor begitu Garva melempar sabuk celananya asal, lantas menarik kaus berbau mirasnya hingga menampakkan tubuh penuh tato yang bengkak di tiap sisi. Bisep berotot kencangnya bergerak kaku kala melangkah kian dekat, sengaja memberi kamera sudut sempurna. Sementara Velia makin panik dan menyeret badannya ke belakang, atau ke mana pun yang bisa mengikis jarak dari orang gila ini.

"Tolooong--mmphh!" Teriakan kalutnya lenyap ketika Garva menerjang tubuh kurusnya hingga terbaring kasar, menelikung kedua tangannya ke atas dan menjilati wajah pucat itu dengan lidah panjangnya. Ngeri tak berperi merajam batin Velia. Ia ingin membentak, menjerit sekuatnya, tapi tubuhnya benar-benar kaku. Tak bisa bergerak di bawah kungkungan tubuh besar Garva.

Mama ... apa aku akan melakukan yang Mama bilang?

Apa Velia yang dianggap hina karena berita miring itu, kini terbukti nyata?

Apa aku sungguh tak pantas hidup?

"Jangan! Jangan!" Velia membelalakkan mata begitu tangan gemuk Garva menarik kerah seragamnya kuat, dan tanpa ampun membetotnya hingga kain tipis itu melar amat lebar. Melayangkan kancing-kancing yang dengan mudah terlepas dari inangnya.

Mungkin, aku memang tak berharga. Sama sekali tak penting seperti yang Mama bilang.

Kau bilang aku anak haram, 'kan?

Bisakah aku teriak bahwa aku sangat terluka saat mulut mamaku sendiri yang mengatakan itu?

Bisakah aku meminta?

Aku ... mau mati saja.

Jerit penuh kesakitan menggema begitu tubuh kurus itu remuk, hancur tak bersisa. Lumuran darah dari gigitan orang sinting itu memenuhi badan Velia. Garva terus menyiksa, memukul dan menendangi tubuh telanjangnya tanpa ampun.

[END] Dadah, Mama!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang