53 | Pita Merah Muda

47 4 0
                                    

MonochromeCafe tak begitu ramai pada pukul lima sore. Asap tipis mengepul dari cortado Ersa. Campuran espresso dan susu itu belum tersentuh sejak pelayan meletakkannya di meja. Beda dengan Ersa yang memesan sesuatu, cowok berkacamata di hadapannya menolak saat Ersa menyodorkan buku menu.

"Aku ada kelas lima belas menit lagi, tapi makasih." Ersa selalu mentraktir Yera tiap mereka bertemu. Toh, tidak ada bedanya bagi Ersa. Namun, Yera lebih sering menolak. Cowok itu beralasan perlu waktu lama untuk menghabiskan secangkir kopi, ataupun minuman lain. Rasanya sayang kalau kopi itu hanya Yera sesap seteguk lalu ditinggalkan begitu saja.

Ersa membawa matanya ke kaca transparan kafe. Jalan mulai disesaki kendaraan, maklum, kini sudah waktu pulang bagi para pekerja. Makanya kali ini Ersa yang menghampiri Yera, mengajak bertemu di daerah dekat gedung bimbel cowok itu.

Yera bisa menangkap raut lelah dan sedih di wajah pria itu. Pria yang pernah menepuk pundaknya di rumah sakit, mengajak Yera ngobrol satu jam meski lebih dipenuhi keheningan. Seseorang yang menganggap Velia berarti. Seseorang dimana Yera bisa membagi lukanya.

"Hana," Ersa masih memusatkan atensi ke luar kafe. Pandangannya menerawang, "baik-baik saja."

Yera menunggu, tahu Ersa belum selesai.

"Dia pasti akan baik-baik saja ... 'kan?" Itu harapan, doa, monolog yang Ersa ucapkan dengan harap Yera mengiyakan pemikirannya.

"Chandra bilang, belum ada kemajuan. Tingkat stresnya masih tinggi. Trauma yang dia alami delapan belas tahun lalu ditambah kecelakaan Velia, masih terlalu berat untuk Hana terima." Ersa menyatukan telapak tangan, menekan keningnya sambil terpejam. "Aku menyesal sudah mengatakan soal Velia hari itu. Harusnya aku tidak memberitahunya. Harusnya aku tidak membuat semuanya semakin runyam." Ersa menarik napas panjang. Rambutnya berantakan. Kemeja biru muda pria itu menempel ke tubuhnya karena keringat.

"Dia belum mau bicara padamu, Kak?"

Kekehan Ersa muncul. "Belum, tapi kata Chandra, dia mendengar. Jadi aku sering cerita padanya sebelum tidur. Setidaknya, dia bisa tahu aku ada di dekatnya. Itu lebih baik dari sebelumnya."

Yera mengangguk. "Soal pelakunya, apa ada kabar dari polisi?"

"Nah, ini alasan aku menemuimu hari ini." Ersa kembali menegakkan badan. "Kau tahu kalau malam sebelum Velia kecelakaan, penculiknya menelepon Hana?"

Mata Yera melebar.

"Telepon itu berlangsung sekitar dua menit. Ada sesuatu juga yang dikirim ke Hana, entah video atau rekaman suara, tapi sudah rusak. Nomor HP orang itu dilacak, lokasi terakhirnya di sekitar hutan perbatasan Makassar. Selebihnya tidak ada petunjuk, tapi polisi akan terus mencari tahu. Kabar terakhir kudengar mereka mencari ke dalam hutan. Yang ingin kutanyakan padamu, Yer, apa kau pernah melihat Velia diperhatikan orang asing, atau ditelepon nomor tak dikenal? Aku tidak bermaksud menyinggung hubungan kalian yang renggang. Maksudku, sebelum itu, waktu kalian masih akrab. Apa dia pernah mengatakan sesuatu semacam itu?"

Pundak Yera merosot. "Tidak ada. Velia jarang cerita soal dirinya. Dia tertutup sekali. Ah, harusnya aku lebih perhatian."

Obrolan itu berakhir dalam sunyi. Keduanya tenggelam bersama pikiran masing-masing. Pergerakan dari orang-orang di sekitar mereka menimbulkan suara berisik. Bunyi bel dari pintu yang terbuka kala pelanggan masuk dan keluar, pertanyaan pelayan soal menu yang akan dipesan dari meja sebelah, musik dari speaker yang melantunkan lagu akustik samar-samar masuk ke pendengaran Yera.

Yera harus menemukan pelakunya. Ini hal terakhir yang bisa ia lakukan untuk Velia. Namun, selama satu tahun ia, Ersa dan polisi berusaha, kasus ini belum juga menunjukkan titik terang. Seperti tak ada jawaban dari berbagai teka-teki yang timbul dari penyelidikan.

[END] Dadah, Mama!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang