"Kumohon, temani aku..."
"Aku muak, Yera. Tolong aku...."
Pukulan kencang membombardir dada Yera seketika. Suara merengek yang sama. Permintaan kecil yang amat putus asa ... yang pernah Velia katakan. Ini menggerakkannya, menyentuh nuraninya yang mati. Membuat Yera melewati batas dan bersikap berlebihan.
Cemas mengerubunginya. "Tidak apa-apa." Kepalan tangan cowok itu tremor. Ia menelan ludah. "Menangislah, aku akan tunggu sampai kau membaik. Nanti, ceritakan padaku semuanya. Hm?"
Perkataannya seperti rinai hujan yang menetesi kepala panas Fial. Menyejukkan. Menenangkan.
"Aku---hiks---aku tidak tahu lagi harus bagaimana." Manik gadis itu memerah. Pipinya basah hingga dagu. "Tidak ada yang mau mendengarku. Aku tidak punya siapa-siapa."
Velia juga tidak punya siapa-siapa.
Velia selalu sendirian, menerima perlakuan kasar teman-teman, juga orang tuanya. Dan terlebih ... Yera.
"Apa aku mati saja?"
"JANGAN!" Yera melotot. Urat nadi di lehernya mengetat. Sekujur tubuh cowok itu gemetar. "Jangan mati ... kumohon jangan mati." Desisan itu seperti ancaman membunuh, spontan membuat Fial merinding. Tak bisa Fial pungkiri teriakan menggelegar Yera mengejutkannya. Namun, ucapan lantang itu membuatnya sadar.
Yera tidak ingin dia mati.
Yera peduli padanya.
Yera sayang padanya. Begitukah?
"Yera, kau---"
Telepon terputus.
Fial memandang ponselnya heran. Namun kemudian, hangat menjalari hatinya. Ia merangsek ke dalam selimut, memeluk guling dan dirinya erat.
Kata Yera, Fial tidak boleh mati.
Ada yang menginginkannya tetap hidup.
Maka itu cukup.
Untuk pertama kalinya, Fial tidak menyesal telah terbuka pada orang lain. Rasanya ... nyaman. Meski masih tersentak-sentak, napas pun tersengal, Fial berusaha menenangkan diri. Meletakkan telapak tangannya secara silang ke pundak, dan menepuknya perlahan. Memberikan sugesti penenang ke dirinya sendiri.
***
"Yera!" Resan segera menangkap tubuh Yera yang oleng. Ia merebut handphone sahabatnya dan menekan asal. Beban berat Yera membuat Resan kesusahan, tapi sekuat tenaga dia tahan. Kekhawatiran tersirat jelas di wajahnya.
"Tidak boleh mati. Tidak boleh mati. Tidak boleh mati." Yera menggeleng histeris. Pandangannya kabur. Kilasan saat Velia direnggut darinya berputar kencang, nyaris menghancurkan isi kepalanya.
"Hei, hei, hei. Yera. YERA!" Teriakan Resan berhasil menghentikan gumaman Yera. Cowok itu memandang Resan linglung. Seiring matanya berkedip, air mata meluruh, membasahi lengan Resan yang mencengkeramnya.
Resan menarik napas cepat. Dia sungguh syok. "Apa pun yang kau lihat, itu tidak nyata. Tidak terjadi. Semuanya baik-baik saja. Tidak ada yang pergi. Sudah tidak ada yang pergi, mengerti? Tenanglah."
"Velia membutuhkanku, Resan. Aku mendengar suaranya...." Tangisnya membludak. Hati Yera teremas kencang. Detik demi detik berlalu, tapi detak jantungnya hanya tambah membunuhnya.
Perasaan bersalah itu terlalu besar. Penyesalan itu tak mungkin bisa lenyap.
Yera mencintainya, sungguh suka padanya. Dan ia baru menyadari itu setelah Velia hilang. Setelah semuanya tak lagi mungkin Yera gapai.
KAMU SEDANG MEMBACA
[END] Dadah, Mama!
Teen FictionBullying, kekerasan dari Mama sendiri merusak jiwa Velia perlahan sampai dia stres hingga depresi. Satu-satunya sahabat menatap dia rendah setelah tahu Velia menyukainya, membiarkan ia tenggelam sendiri dan memilih bersandar ke sosok baru. Penghinaa...