41 | Hancur

204 9 1
                                    

Alas sepatu yang terkikis dan dipenuhi tanah liat melangkahkan diri ke pavingblok rumah sakit. Bulatan semen yang dia pijak otomatis dilumuri tanah, memberi bekas memanjang dari trotoar jalan raya hingga depan gedung besar itu.

Ludah tertelan di tenggorokan, menampakkan jakun yang naik turun di leher penuh keringat. Rahang lelaki itu mengeras, bibir keringnya tersengat tiap ia bergerak, sementara sepasang tangan kekarnya tremor, hampir jatuh saking tak kuatnya menahan beban.

Tapi Yera tak menyerah. Berjalan tiga kilometer ditemani hujan deras pukul satu malam bukan sesuatu yang mesti dia pedulikan. Sejak berhari-hari lalu, nama itu terus tersebut di kepalanya, hingga kini, saat mulut Yera sudah terlalu kelu untuk membisikkan nama itu.

Ekspresi Yera sekaku mayat.

Sepatu berlogo Fila yang tersayat di tiap sisi itu berhenti. Menampakkan laki-laki tinggi yang berdiri menjulang di depan UGD Rumah Sakit Pelamonia. Seragam putih-abunya masih terpasang, meski kemeja putih itu tak dia kancingkan. Meski tubuhnya basah kuyup bekas hujan sejam lalu, jejak keringat dan dada yang bergerak cepat mengambil napas menunjukkan, bahwa Yera sedang tak baik-baik saja.

Dia bergeming, tak menunjukkan tanda-tanda akan mengangkat kaki ke tiga unduk tangga berbahan tehel putih yang akan menuntunnya menuju pintu kaca. Yera takut. Yera bingung. Yera ... putus asa.

Apa yang harus dia lakukan saat cewek ringkih yang dia cari selama hampir sepuluh jam sudah berada di dekapannya, berlumuran sperma dan darah dari kepala yang retak?

Yera tidak menyelamatkannya.

Yera terlambat. Selalu terlambat.

Seakan ada tangan tak kasatmata yang meremas kuat jantungnya, membuat Yera sesak, tak bisa membedakan mana yang disebut diam dan bernapas?

"Velia...." Rahang kaku itu perlahan menunduk, mengalihkan pandangan kosong ke sosok mungil berseragam sekolah yang mengkerut kedinginan. Mukanya ditutupi darah, perut kurus itu terus mengalirkan cairan merah yang menciprati kaus dalam Yera. Bau sperma menusuk-nusuk penghidu, mengorek-korek kewarasan Yera kian nyalang.

Velia harus selamat.

Velia pasti selamat.

Tunggu sebentar. Kita sudah sampai.

Kalimat itu terucap di dalam hati, perkataan yang ingin Yera sampaikan ke Velia, tetapi terlalu kelu untuk sekadar bicara. Setelah memantapkan tekad dan menekan kuat perasaan gamang di dada, Yera melangkah. Tertatih, begitu pelan, bersama dengan kaki kiri yang terkilir dan kian mati rasa.

Mereka masuk. Yera refleks menutup mata begitu cahaya terang dari lampu ruangan menusuk matanya. Bagian resepsionis kosong, membuat Yera tak ada pilihan lain selain melangkah kian dalam.

"Astaga, kenapa ini?!" Salah satu perawat yang baru keluar dari kamar pasien refleks memekik begitu melihat betapa naasnya kondisi dua anak SMK di depannya. Dia mendekat, hendak menyentuh Velia, tapi ragu, sebab gadis itu gemetar, efek dari tremor hebat yang menerjang sekujur tubuh Yera.

"Velia--Velia sakit. To--tolong...." Susah payah Yera mengatakan itu. Selebihnya, dia hanya menunduk, memandangi kelopak mata Velia yang terpejam. Lalu-lalang di depannya mulai riuh. Dua perawat pria menarik bangsal, sementara suster lain sibuk mempersiapkan peralatan yang dibutuhkan.

Suara langkah kaki yang buru-buru, decit ban kecil yang menggiring bangsal mendekat, dan gerincing ribut saat peralatan aluminium seperti gunting dan wadah segiempat bertabrakan membuat UGD malam ini begitu bising.

Hanya Yera yang diam. Berdiri kaku di tengah-tengah koridor, membawa matanya memandangi wajah cantik Velia. Cantik yang selalu bercerita heboh hanya untuk membuat Yera tertawa, karena gadis itu tahu, Yera tak bahagia.

[END] Dadah, Mama!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang