24 | Lancang

355 38 0
                                    

Ada apa ini?

Sejak labrakan di toilet kemarin, Velia sengaja menghindari Geo agar tak menarik perhatian orang-orang. Ia sampai menolak dijemput hari ini saking lemasnya. Velia tak akan sanggup menghadapi cibiran buruk yang tak henti memasuki telinga.

Rambut panjang yang tak dihiasi apa pun terurai mengikuti gerak tengkuk yang menunduk. Wajah pucat Velia tampak letih, bibir berisinya agak kering. Bedak bayi yang biasa ia pakai terutama setelah berpacaran dengan Geo tak sempat ia pedulikan. Kantong mata menghitam dan sklera yang memerah, juga hidung yang sesekali mendengkus karena pilek memperburuk penampilannya.

"Itu orangnya?" Velia refleks meremat tali tas selempang birunya kala melewati koridor kelas sepuluh. Gerombolan siswi yang dulu segan kini berani menatapnya lamat-lamat. Lip tint merah pekat tampak kontras di wajah mereka yang masih kekanakan. Hingga Velia berpapasan, kumpulan cewek puber itu makin nyalang menyorotnya rendah.

Velia mengatupkan gigi gerahamnya kesal. Namun, hanya remasan kuat di telapak tangan yang berusaha melampiaskan emosi. Dengan cepat ia melangkahkan converse putihnya menanjaki undukan tangga hingga ke lantai tiga.

"Aku benar-benar tidak menyangka!" Gerombolan cowok Seni Musik yang suka mencari muka di hadapan Velia tak henti berbisik dengan suara yang bising. Meski geram setengah mati, Velia tetap melongokkan kepala khawatir. Geo belum datang, ya? Pasti mereka akan dihajar karena berani menatapnya kurang ajar.

"Dasar Jalang!"

Cangkang telur tipis itu langsung pecah saat menghantam dahi Velia. Pejaman mata kaget dan pekik terkejut memenuhi ruang XII RPL. Bau amis dan rasa lengket kala kuning telur mengalir lancar melewati hidung dan mulut yang terkatup rapat menimbulkan desis di bibir penonton. Menjijikkan!

Belum sempat Velia membuka mata dan bertanya, sebungkus tepung gandum langsung menampar pipi tirusnya. Tak tanggung-tanggung, terigu satu kilogram yang Tena layangkan membalut tubuh kurus itu dengan cepat.

"Aaakh!" Velia meringis perih begitu putih telur dan remah tepung masuk ke retina. Dengan panik ia mengusap-usap kedua mata yang kian terasa menyakitkan.

"Kukira kau bodoh selama ini. Ternyata kau tidak ada bedanya dengan pelac*r!" Omelan melengking Tena mengiring teriakan panik Velia kala pergelangan tangannya ditarik dan tubuh seputih susunya langsung menghantam meja guru. Ringisan linu terdengar sebab belakang kepalanya terantuk kaki meja.

"Salahku a–pa?" Urat nadi Velia menonjol kala dagunya dibekap kasar dan tangan besar Oda meremat pipi kenyalnya geram. Rahang Velia langsung kebas diiringi wajah yang kian memerah.

"Aku tidak suka cewek jalanan," ungkap Oda datar, tanpa riak. Namun, sorotan mata yang kosong dan berkilat menunjukkan betapa murkanya ia saat ini. Dilepaskannya dagu Velia kasar hingga terjerembab mencium marmer bergerigi.

Dengan tubuh gemetar, mata menangis karena perih serta luka yang menyayat sanubari, Velia berusaha bangun. Tertatih ia berpegangan pada meja panjang dan berdiri sempoyongan.

"Apa lagi yang kulakukan memangnya? Kenapa kalian selalu saja menyiksaku?!" Velia memberontak, menggila, sungguh tak kuat menahan duri lara yang tak henti mengakari tubuhnya. Apa tidak cukup ia merasa terhina karena kondisi Mama, ia masih harus mendapat perlakuan tak kalah kasarnya di sini?

Velia terisak keras. Berulang kali ia mengusap bubuk putih yang menggumpal di muka. Wajah kesakitan dan mata yang memerah perih membungkam semua orang. Bibir kering Velia bergetar kala menatap Oda dan Tena yang paling dekat dari jaraknya berdiri.

"Aku juga manusia. Aku sama seperti kalian! Tapi kenapa aku yang disakiti? KENAPA CUMA AKU YANG TERSIKSA SENDIRIAN?!"

Manik kakao itu membelalak murka.

[END] Dadah, Mama!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang