66 | Polong

29 2 0
                                    

"Eh, Pak Yudi tidak datang tau hari ini." Galuh berbisik-bisik sembari menyempil masuk ke kelas mata kuliah Pengantar Ilmu Komunikasi. Ucapan tiba-tibanya membuat anak-anak menoleh, tapi kembali sibuk dengan dunia masing-masing saat tahu Galuh yang berceletuk.

"Woy! Aku serius! Suwer! Kenapa kalian diam saja? Ayo ribut! Bayu, naikkan lagi kakimu ke meja kayak biasanya!" Galuh tetap keras pada pendiriannya. Dia berkacak pinggang, sok berlagak layaknya bos besar.

Snack kacang polong langsung Bara lempar ke arah Galuh, bikin anak itu berjengkit. Regan mendebas malas. "Saking tidak ada kerjaannya ya kau sampai melakukan ini tiap hari? Heh!" Nada suaranya meninggi. "Tiap kau bilang dosen tidak datang, dia pasti muncul habis itu! Kau pikir masih ada orang bego yang mau percaya cerocosanmu itu?"

"Ya itu, 'kan, lagi apes saja! Kali ini aku yakin Pak Yudi tidak ada. Sumpah!"

"Tidak usah sumpah-sumpah kalau datang ke gereja saja jarang sekali! Sok-sokan bilang sumpah! Memang kau tahu artinya apa?" Bayu membalas pedas, membuat Galuh kicep. Di tengah omongan Bayu, Galuh sempat buka mulut, tapi tertutup lagi karena sadar dia memang jarang menghadiri ibadah minggu. Gimana caranya coba? Orang kerjaan Galuh tiap akhir pekan cuma minum-minum, jelas besoknya dia teler.

"Sudah, kau sini saja. Kau kayak topeng monyet tahu tidak tiap berkoar-koar di depan kelas begitu?" canda Gelia melihat rambut ikal Galuh yang fresh. Surainya bukan keriting sebenarnya, justru blonde yang menambah tingkat kegantengan si anak blasteran satu-satunya di jurusan Komunikasi. Tapi Gelia dan anak-anak memang suka menjuluki Galuh yang jelek-jelek saja.

"Gelia! Kok kau begitu sih?! Ini aku pake baju baru loh! Cute! Kau panggil aku cute saja, jangan topeng monyet. Okay?" bela Galuh sambil duduk di sebelah kanan Gelia. Sisi kiri cewek itu diisi Revan yang cuma menyumbang senyum tipis dan kekehan.

"Apa pun itulah." Gelia menyerah kalau Galuh sudah bicara fakta begitu. Yah, dia memang ganteng, sih. Tampan banget malah. Tapi siapa sih yang mau terang-terangan memuji tuh anak? Yang ada malah dia makin melunjak dan cerewet. Serius, Galuh itu kebanyakan energi dari dulu.

Kebisingan kelas kembali terkontrol. Mahasiswa lain bercengkrama soal tugas mata kuliah selanjutnya, ada juga yang main game bareng tapi tahu diri dan tidak ribut. Kalau Gelia, sih, dia mau jadi cewek rajin dulu. Sambil bersandar ke kursi, kupluk hoodie terpasang asal-asalan, Gelia cemberut dan mengoreksi kesalahan tulisan dari lembaran tugasnya.

"Oh? Revan, kau tidak pa-apa? Matamu merah sekali." Galuh memelankan suaranya di akhir. Refleks ia mengatup bibir rapat. Gigitan pelan menerpa bibir bawahnya. Galuh meringis. Dia memang lagi dalam happy mood, makanya dia berniat mengajak Revan ngobrol. Namun, setelah menyimpan ransel di rak mini bawah tempat duduknya, ekspresi ceria Galuh beranjak menjadi bingung. Revan tak menata pakaian dan rambutnya hari ini, dia hanya memakai celana jeans dan jaket hitam yang menutupi setengah matanya. Dari tadi Revan diam saja dan melihat slide demi slide instastory following-nya.

Gelia berhenti menggerakkan pulpen. Sadar Galuh melakukan kesalahan, yang bisa Gelia lakukan spontan adalah memejamkan mata frustrasi.

"Oh, ini, aku begadang semalam. Lagi seru soalnya main PUBG. Sayang kalau keputus gara-gara tidur. Kau, 'kan, tahu aku jarang tidur kalau malam. Mata perih begini," Revan berkedip, menyentuh bawah matanya sekilas, "tidak perlu kau risaukan. Sudah biasa aku mah." Senyum kecil Revan tunjukkan, tapi jemarinya bergerak menurunkan lebih banyak raip rambut agar netranya tak menjadi fokus Galuh lagi.

Lega Gelia rasakan kala mendengar suara Revan yang santai. Untung Revan bisa mengontrol diri. Gelia memokuskan atensi kembali ke lembaran kertas folio di mejanya, setelah sempat memelototi Galuh yang tampak merasa bersalah banget.

[END] Dadah, Mama!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang