36 | Tagih, Mana?

565 43 7
                                    

Napas Velia tersendat-sendat. Dari pandangannya yang berbaring kaku, hantaman ombak seakan siap meremukkan tubuhnya. Kedua tangan itu mengerut, bergetar hebat dengan tatapan kosong, kelewat hampa hingga gumpalan air mata kembali masuk ke sela bola mata, terlalu malu untuk keluar.

Harapan kecilnya ingin memiliki seseorang yang rela menjaganya. Menenangkan debaman nyeri kala hidup tak berpihak padanya. Keinginan lugu yang sejak lama ia pintakan.

Tolong, temani aku.

Berkali-kali ia memohon satu hal pada setiap orang yang hadir di hidupnya. Setelah tahu bahwa ia tak mungkin meminta secara percuma, persis saat Hana begitu mudah membentaknya kala menunjukkan hasil raport-nya waktu kelas dua SD. Mama selalu mengatainya bodoh, dungu dan berbagai julukan sadis yang tak sepatutnya seorang Ibu katakan pada putrinya.

Dan Velia membuktikan dirinya. Ia mengurung diri di rumah, enggan bermain dengan teman-temannya dan fokus mempelajari semua pelajaran yang bahkan tak ia mengerti. Hidupnya ia tangguhkan hanya untuk satu hal; pengakuan Mama. Setelah bersusah payah mengorek otak mungilnya dengan rentetan materi, Velia pun berhasil meraih peringkat pertama dengan nilai nyaris sempurna.

Ia melakukannya.

Dengan riang Velia berlarian membuka gerbang, menarik pintu dengan jari mungilnya dan memanggil-manggil wanita yang sekalipun tak pernah tersenyum untuknya. Velia mengetuk pintu kamar Hana, tapi tak terkunci. Bunyi kerit kayu bergesekan dengan tehel mengiringi langkahtubuh pendek berbalut rok merah merekah dan ransel raksasa di punggung.

Iris cokelat itu berkedip-kedip, menatap siluet gestur Hana yang berbaring membelakanginya. Pundak kurus Hana ... bergetar masai.

"Mama, Velia dapat ranking satu." Suara manis itu merebak, memecah hening yang menyelimuti kamar gelap tanpa ada jendela yang terbuka. Sekujur tubuh Hana menegang, tapi tak ada pergerakan berarti.

Tak mendapat respon apa pun, bibir segar Velia mengerucut. Pipi kenyalnya mengembung murung. Namun, ia kukuh. Diliriknya kaki ranjang setinggi enam puluh sentimeter itu. Sambil memeluk raport merahnya, ia berjalan ke sisi kaki Hana. Nyaris tak ada ruang sebab wanita itu tidur di pinggir tempat tidur.

Napas anak itu terengah-engah, jemari mungilnya menggapai selimut hangat sebagai pegangan, kemudian menempelkan wajahnya ke kasur, dan perlahan beringsut naik.

Baru kaki kanan yang berhasil naik, sedangkan kaki mungil satunya mengambang dan bergoyang. Muka tirus berpipi chubby Velia memerah, paru-parunya sesak karena terlalu lama menyempit di sana. Selagi ia sibuk berjuang, retina bundarnya menangkap gelagat Hana yang bergerak tak nyaman. Sontak Velia tersenyum lebar, ia membuka mulut dan berucap senang, "Mamasudah bangun? Velia—Veliadapat peringkat—"

"Menjauh dariku!"

Kekesalan Hana membuatnya langsung berbalik cepat. Sementara Velia yang tak siap sontak terjengkang begitu telapak kaki Hana menampar mukanya. Napasnya tercekat, tak sempat berteriak karena pelipisnya sudah menabrak nakas hingga gelas kaca itu bergerak dan jatuh di sebelahnya.

Tubuh mungil itu basah kuyup. Namun, Velia teguh melindungi buku raportnya dengan memeluk erat. Membiarkan rambut sebahunya lepek tersiram air minum yang dingin. Pundak kecilnya bergetar hebat, Bola mota cokelat itu mulai berair karena pening mendera kepalanya. Tergaguk Velia mendongak, memerhatikan Hana yang bangkit dengan mata bengkak dan rambut acak-acakan. Sembari berkedip lemah, Velia mengulurkan tangan, ingin menunjukkan buku merahnya sambil berusaha menarik bibir senang,

"Mama ... Velia sudah jadi seperti yang Mama mau. Velia bukan anak tolol lagi." Suara serak itu kian tercekat, pupil bundarnya berkaca-kaca ketika Hana menoleh dengan mata melotot.

[END] Dadah, Mama!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang