47 | Skrip Game

64 7 0
                                    

Bangku kayu di pinggir lapangan basket jadi bulan-bulanan mereka waktu malam semakin larut. Entah bagaimana Gelia memilih rute, intinya setelah mereka lari seperti orang gila, mereka berakhir di sini, di lapangan basket yang gelap, cuma kecipratan terik dari lampu jalan. Itu pun redup. 

"Kau--huh--kenapa kau menarikku?!" Geo membungkuk sembari mengatur napas. Ia ngos-ngosan. "Aku tidak tahu kau siapa, tidak pernah melihatmu juga, tapi kau langsung datang dan memaksaku lari. Kau...." Geo menatapnya menyelidik.

"Oh? Oh? Tatapan macam apa itu? Tatapan menyebalkan macam apa yang baru saja kau tunjukkan itu?"

"Kau penguntit, ya?!"

Mata Gelia terbuka sampai pelebaran maksimal. "Astaga—"

Peluh di rambut membuat surai Geo menutupi mata, juga membentuk poni yang selama ini selalu terangkat. Titik-titik keringat menetesi wajahnya. "Kau pasti fans fanatik Areas dan menguntitku selama ini! Iya, 'kan? Waaah, harusnya aku berontak sejak tadi. Aku harus lapor polisi—"

"Letakkan itu." Perkataan datar Gelia seketika menjeda pergerakan Geo. Gelia berdecak, gerah sekali rasanya. Dengan berang ia melepas jaket Bara dan menampakkan pundak telanjangnya. Ia memakai croptop malam ini, niatnya biar lebih leluasa waktu mengedance di club, tapi malah berakhir seperti ini.

"Oh-oh-oh?! Kenapa kau lepas baju? Kau—kau mau melakukan yang tidak-tidak? Waah, ternyata kabar itu benar. Punya fans memang menakutkan."

"Sampai kapan kau akan mengoceh soal penguntit, hah?" Gelia memotong dengan lantang. Ia mendongak, menyorot Geo tidak suka. Kursi panjang yang didudukinya sudah ditempeli keringat dari punggung, bikin Gelia tidak nyaman. "Tadi ada polisi mau merazia sekitar motel. Aku kasihan saja, makanya menyeretmu. Kalau bukan karena aku, kau sudah masuk penjara! Dasar bodoh!"

Geo kehabisan kata-kata. "Apa kau bilang? Bodoh?"

"Iya! Kau bodoh! Apa? Kau mau melawanku?" Gelia memutar mata, kesal setengah mati. "Apa-apaan coba? Menyesal aku sudah menolongnya, harusnya kubiarkan saja tadi."

"Aku bisa mendengarmu." Geo menyorot cewek di depannya malas.

"Ya terus? Aku peduli, gitu? Dasar cowok tidak jelas. Tidak tahu terima kasih—uhuk-uhuk!" Gelia berhenti mengoceh begitu napasnya sesak. Ia memukul-mukul dada, berusaha menghentikan dahak yang menahan jalur pernapasannya.

"Makanya, jangan bawel. Batuk, 'kan?" Tunggu-tunggu. Kenapa Geo secerewet ini, sih? Geo geleng-geleng dan beralih duduk di ujung kursi yang lain. Karena napas yang terengah, otaknya jadi tidak bisa berfungsi dengan benar.

"Sialan—uhuk—kalau tidak mau bantu tuh diam saja!" Batuk Gelia belum reda, tapi ia berhenti memukul dada karena ikut-ikutan terasa sakit sekarang. Lama-kelamaan melihat gerak-geriknya, Geo jadi terbawa khawatir.

"Kau tidak pa-pa?"

"Menurutmu?" Gelia menyahut sinis, membuat Geo mempertanyakan kepeduliannya sendiri. Cewek ini sungguh menyebalkan. Geo tidak akan perhatian lagi padanya.

Suara jangkrik dan goyangan daun di pohon mangga membuat pandangan Geo sejenak teralihkan. Begitu menenangkan. Angin malam menerbangkan helai rambut Geo, menyejukkan belakang leher dan telinganya.

"Aish, menyebalkan! Aku penasaran sekali!"

Teriakan cewek sinting di sebelahnya membuyarkan lamunan Geo. Ia berkedip, melihat Gelia yang duduk tidak nyaman dan menggosok telapak tangan di paha.

"Hei."

Geo mengangkat alis.

"Kau kenapa tadi---"

Bara memanggil...

[END] Dadah, Mama!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang