09 | Tidak Pa-pa

351 32 8
                                    

"Kau tidak apa-apa? Apa yang terjadi?!" Yera sama sekali tak memedulikan helm hitam mahal yang terantuk di kerikil begitu ia bangkit dari motor. Dingin yang menyengat tak menyurutkan hawa cemas yang kian mengental. Dia memacu langkah berat menuju Velia yang tengah memeluk lutut di ujung dermaga.

"Ye-Yera," panggil Velia terbata. Ia masih tak percaya Yera akan datang. Cowok yang ia suka itu tampak kacau. Surai sepekat langit malamnya teracak tak beraturan. Penerangan temaram dari bulan menunjukkan jejak memar di pipi kanannya. Seperti jejak tamparan.

"Kau ... ada apa?" Luka menganga di hati seakan tak penting saat Velia berdiri dan menangkup rahang tegas lelaki itu. Jemari berbalut darahnya mengusap pipi Yera kaku, begitu hati-hati. Menunjukkan betapa kalutnya ia, apalagi ketika menelusuri mata memikat itu, Velia menemukan air mata yang mulai mengering.

Jantung Yera serasa hilang dari tempatnya begitu Velia mendongak dan menubrukkan manik sayunya cemas. Dadanya berdetak kian kencang. Bercampur aduk antara kekalutan dan perasaan terenyuh yang menusuk sanubari.

Mata cokelat Velia berhasil membiusnya.

Menusukkan berbagai macam obat ke dalam hati dan merontokkan segala nyeri yang membusuk ditelan luka.

Apa ini?

"Kenapa rambutmu bisa berantakan begini? Ujung bibirmu berdarah," panik Velia sembari menyentuh kulit yang mengelupas di sudut mulut Yera. Ibu jarinya tak henti mengusap lembut pipi pria itu sampai memar kemerahannya lenyap.

"Apa ada masalah? Kau bertengkar dengan ayahmu? Dia—dia tidak memukulmu, 'kan? Astaga, harusnya aku tidak memintamu membujuknya. Kalau aku mendukung keputusanmu, semua tidak akan jadi seperti ini," cecarnya kalut. Netra kakao itu bergetar linglung. Pandangannya menurun, menelusuri telapak tangan Yera gugup. Begitu mendapati buku-buku tajamnya berdarah, Velia langsung memekik dan menyembunyikan kepalan kekar Yera ke ceruk lehernya.

Panik benar-benar menderanya.

"Maafkan aku! Semua karena aku. Aku ... sama sekali tidak ingin menyakitimu. Aku pikir, kalau kau berbaikan dengan ayahmu, semua akan membaik. Aku benar-benar tidak becus. Seharusnya kau tidak memercayaiku saja. Harusnya kau juga membenciku seperti yang lain. Harusnya—"

"Sssh ...." Telapak tangan itu bergerak mengelus tengkuk Velia. Telunjuk Yera mengangkat pelan dagu gadis yang mulai dibanjiri tangis penyesalan. Dengan lembut, jemari besar itu merengkuh pipi pucat Velia dan menyingkirkan tiap butir air mata yang masih mengalir deras. Yera meringis melihat manik yang selalu menatapnya dengan binar cerah itu kini bengkak dan memerah. Berapa lama cewek itu menangis?

"Aku tidak apa-apa," ucap Yera lebih tenang. Kekhawatiran yang mengalut di tangan tremor Velia berhasil membungkamnya beberapa saat. Dentuman panas di kepalanya melayang begitu saja. Seakan suara tipis nan rapuh itu berhasil menyembuhkan luka terbesar di hatinya.

"Tapi kau terluka. Aku tidak tahu apa yang Om Neo lakukan sampai kau seberantakan ini? Aku tak suka melihatmu kacau begini ...," sesak Velia dengan tangis yang kian membuat napasnya sesak. Rasa bersalah merayapi raganya. Padahal, baru saja ia ingin menggantungkan segala masalahnya pada Yera, tetapi ternyata ia telah merusak hidup pria itu.

Kini, Velia tak berani membuka mulutnya untuk jujur mengenai kekalutan hatinya.

"Kau yang lebih terluka! Siapa yang sudah menyakitimu? Siapa yang berani membuat seluruh wajahmu penuh lebam begini?" tuntut Yera mulai ditelan amarah. Bara menggelegak membangkitkan emosi tak terbendung. Bagaimana bisa gadis semungil Velia disakiti sejahat ini?

"A-aku ... ini hanya, aku terjatuh di kamar mandi," dusta Velia sambil menundukkan kepala panik. Pupil murungnya tak percaya diri untuk sekadar membalas tatapan khawatir Yera. Ia memilin kedua tangannya gugup. Desiran ombak yang memercik menyentuh kaki seakan tak mampu menyadarkannya dari seribu pilihan kalimat yang bisa ia gunakan sebagai alasan berkilah.

[END] Dadah, Mama!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang