11 | Jangan Cinta

324 38 5
                                    

"Bu, Yera bisa jalan sendiri." Cowok yang terlihat lebih pucat itu melepas pegangan halus sang Bunda. Setelah berhari-hari mendekam di bangsal rumah sakit, akhirnya Yera bisa pulang meski pandangannya masih kabur. Ania menatap putranya khawatir. Pemilik garis wajah memukau yang menurun pada Yera itu tak melepaskan pandangan sampai Yera menghilang di lengkungan tangga.

Yera mendebas lelah. Sebenarnya, ia masih butuh istirahat beberapa hari. Namun, ia tak boleh menyia-nyiakan kesempatan mengikuti les tambahan di sekolah. Belum lagi, ia tak mau raporkebanggaannya terjerembab di ruang guru. Yera harus segera mengambilnya dan melihat hasil kerja kerasnya selama ini.

Saking semangatnya akan kembali menunggangi Red Hondanya, Yera sampai mandi subuh di rumah sakit. Kemeja putih dan celana abu-abu panjang sudah terpasang gagah di tubuh atletisnya. Sengaja, agar ia tinggal mengambil ranseldan langsung meluncur ke sekolah.

Binar bahagia di manik hitam itu mengiringi langkahnya menuju pintu putih yang ia rindukan. Ah, Yera kangen suasana hangat dan aroma citrus kamarnya. Ia pun harus membereskan kekacauan yang belum sempat ia rapikan. Apa sekalian Yera bongkar kotak PC juga? Sepertinya kipas dan hardware lainnya sudah berdebu karena lama tak ia bersihkan.

Yera merogoh tas pakaiannya dan mengambil kunci pintu tergesa. Ia tak sabar memainkan komputer kesayangannya lagi. Mungkin ia bisa memutar beberapa musik rock dulu sebelum berangkat.

Pintu terbuka. Yera menunduk, mengangkat ransel besar yang berisi baju-baju kotor dan berbalik dengan wajah berkilat senang.

Bruk!

Pegangan pada tali tas hijau tua itu terlepas. Jantung Yera serasa copot dari tempatnya. Ke mana komputer putihnya? Casing, keyboard, dan speaker yang ia kumpulkan hasil tabungan satu tahun itu mengapa tak ada di posisinya?

Bahkan, headphone yang selalu menemani hari-harinya saat mengerjakan aplikasi juga tak ada di gantungan belakang pintu.

"Bu! Ibu! Komputer Yera ke mana? Ibu pindahkan, ya?!" Yera berusaha berpikir jernih. Bukan tak mungkin Ania masuk dan merapikan kamarnya, 'kan? Bisa saja wanita paruh baya itu melihat kekacauan yang terjadi dan hendak menyervis perangkat PC-nya agar kembali membaik.

"Hah? Komputer? Ibu tidak lihat. Kunci kamarmu, 'kan kau yang pegang," heran Ania terbata-bata. Spatula hitam yang mengepulkan asap masih ia pegang. Teriakan Yera yang begitu menggelegar membuatnya panik dan berlari tergopoh setelah mematikan kompor.

"Terus peralatan PC Yera ke mana? Kok bisa hilang?!" Yera tertelan emosi. Wajahnya memerah pekat. Ia terus menggerutu dan membentak Ibunya yang tertunduk cemas. Perbedaan tinggi yang cukup kontras berhasil mengintimidasi sang Bunda. Wanita ayu itu meneguk ludah susah payah ketika Yera menggeram dan membuka lemarinya asal. Ia melempar puluhan pakaian yang menghalangi. Namun, tak kunjung menemukan titik terang. Tak menyerah, kini ia merangkak. Mengecek kolong ranjang dan membuka satu persatu kardus yang tak pernah terjamah. Hanya ada buku-buku masa kecilnya dan beberapa katalog yang tak ia perlukan.

"Arrgh, sialan!" umpatnya kehabisan akal. Yera menendang kursi kayu yang makin tak terbentuk ke arah pintu membuat Ania memekik terkejut. Perempuan yang menjaga Yera selama di rumah sakit itu hanya mampu menggigit bibir bingung. Naluri sebagai Ibu cukup membuatnya paham, betapa pentingnya komputer itu bagi anaknya. Ia yang menyaksikan betapa senangnya Yera saat mengerjakan sesuatu di sana. Ketika ia mengunjunginya pukul tiga pagi, putranya itu langsung menunjukkan apa yang tengah ia lakukan sambil bercerita heboh meski Ania tak mengerti.

Ia tahu Yera akan sekalut ini jika barang berharganya lenyap tanpa sempat ia pertahankan.

"Jaga mulutmu, Yera!" Bentakan suara berat itu menolehkan atensi keduanya. Yera berbalik, mengejar sang Ayah yang berjalan ke meja makan dan mulai menyeruput kopi pahitnya tenang.

"Ayah lihat komputer Yera? Ayah yang pindahkan, ya? Di mana?" tanya Yera beruntun. Mati-matian menahan emosi yang kian menggelegak dan siap dimuntahkan. Ia masih mempertahankan pikiran positifnya.

"Kau sudah terima rapor, 'kan? Kasih lihat Ayah nanti. Awas kalau nilaimu menurun sedikit saja," tekan Arneo mengancam. Tak memedulikan sengalan napas Yera yang tersendat-sendat. Ia melirik kepalan tangan sang anak, kemudian asyik menyesap kopi buatan istrinya perlahan.

"Ayah, aku bertanya! Jangan mengalihkan pembicaraan seenaknya. Astaga! Semua file pentingku ada di sana. Rumus-rumus pemrograman yang belum kukuasai juga hilang. Ayah, mana komputerku?!" erang Yera sambil meremat rambutnya kuat.

"Sudah kubuang! Puas kau?" Arneo melempar koran yang tengah ia baca menubruk muka Yera. Ia berdiri, menatap putra sulungnya garang.

"Apa? Buang? Maksud Ayah apa?" Yera kehilangan kata-kata. Manik pekatnya mulai mengebas. Sorotan mata sayu itu menanar. Ia menyorot ayahnya kalut.

"Semua barang-barang itu Ayah yang buang? Ayah ... BERANI-BERANINYA KAU?!"

"Jangan membentakku!"

PLAK!

Ludah Yera terciprat begitu pipi pucatnya ditampar sedemikian kejam. Ia tersaruk ke belakang, hampir terperosot jika keseimbangannya tak stabil. Yera menyentuh bekas pukulan di mukanya dengan pandangan kosong.

"Ayah, sudah!" Ania berusaha menengahi. Ia menahan tinju Arneo yang ingin memukul kepala anaknya berang.

"Padahal kau tahu betapa pentingnya semua itu bagiku," desis Yera tajam. Giginya saling bergemeretak menyeramkan. Ia menegakkan tubuh dan menatap Arneo dalam. Menusuk.

"Kau yang paling tahu kalau semua itu sangat berharga bagiku, tapi kenapa? KENAPA KAU SELALU SAJA MERUSAK APA YANG KUSAYANGI?!"

"Kau bahkan tidak tahu apa yang sedang aku pelajari. Seenaknya saja mengklaim bahwa itu tidak berguna dan membuang barang mahal yang susah payah kudapatkan. Memangnya kau siapa?!"

"Kau—"

"Sudah! Berhenti," teriak Ania geram. Ia memelototi kedua pria yang paling ia cintai. Tatapan kalut ia arahkan nelangsa. "Aku tidak mengerti kenapa kalian sangat susah akur, tapi jangan melewati batas! Entah itu kau," Ania menunjuk suaminya tajam. "atau kau, Yera," tekannya murka.

"Kau—kau berangkat saja. Ini kunci motormu. Pergi sana!" Pupil berkaca-kaca itu memungut ransel hitam putranya dan menyodorkannya cepat. Ania mendorong lemah punggung Yera dan menutup pintu rumah terburu-buru. Meninggalkan debaman menohok di wajah cowok itu.

Gertakan tertahan itu kembali. Yera tidak menyadari ujung runcing kunci yang ia genggam menusuk kulit pucatnya. Tetes darah pekat mulai mengalir. Mengirim sinyal luka ke otak Yera dan membuatnya meringis ngilu.

Setidaknya, itu bisa mengalihkan perhatiannya sejenak.

Sepenuhnya ia sadar, bahwa perkataannya barusan sangat kurang ajar. Namun, siapa peduli?

Di sini, ia tidak salah. Dan Yera berhak berontak pada siapa pun yang menentang prinsip hidupnya. Entah itu Arneo atau pun ibunya sendiri.

Jangan memasuki batas teritori yang sudah ia buat! Yera benar-benar tak akan memaafkan siapa pun yang berani ikut campur pada hal pribadi miliknya.

Ia tidak suka!

Dengan rahang mengetat, Yera mengeluarkan Red Honda mengkilapnya dari garasi dan melajukan motor besar itu membelah udara pagi yang terasa menyesakkan. Kecepatan tinggi ia tanjak melalui ratusan kendaraan yang datang silih berganti.

Hari ini, moodnya rusak.

***

[END] Dadah, Mama!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang