29 | Takut

321 35 2
                                    

"A-apa yang kau lakukan?!" Sentakan tiba-tiba hampir membuat Geo jatuh dari koridor dan mencium tanah bermanik semak belukar satu meter di bawahnya. Senyum lelaki itu luntur, rahangnya mengetat dengan pipi berkedut murka. Tak ia sangka dorongan dari tangan pucat itu berhasil memundurkannya beberapa depa.

Geo menarik ujung bibirnya paksa. Sambil menegakkan tubuh, ia memaku pandangan pada gadis yang merapatkan diri ke dinding gudang yang berdebu dan penuh coretan spidol. Lumut kering merambat di sela alas sepatu Velia. Laba-laba kecil tampak merayap, nyaris memasuki converse hitam Velia sebelum berjengit kaget begitu tungkai itu bergetar kencang.

"Jangan menyentuhku...!" Suara serak itu mencicit. Geo menggerakkan kepalanya sedikit kala melihat bagaimana kedua lengan itu saling memeluk seperti tikus ketakutan. Ekspresi Velia sangat kacau, surai panjangnya semrawutan tersapu angin petang. Bibir yang selama ini berwarna merah jambu, berubah jadi sepucat mayat. Sklera yang mengelilingi netra cokelatnya memerah dengan kelopak mata yang berkerut-kerut.

Apa yang ia lewatkan?

Kenapa Velia terlihat begitu gemetaran setelah insiden tadi pagi? Tidak mungkin gertakannya langsung melumpuhkan daya tahan gadis itu. Geo tahu kalau Velia lemah, tapi bukankah aneh kalau gara-gara diputuskan, ia langsung bertingkah seperti orang gila?

"Rusak ... aku sudah rusak!" Velia terisak-isak. Pandangan matanya kosong, tanpa gairah. Ia bahkan tak tahu di mana harus meletakkan atensi meski lelaki yang sempat menggetarkan hatinya tengah berdiri sempoyongan di sebelahnya. Kaki mungil Velia bergerak mundur, perlahan-lahan, seakan ada sesuatu yang berbahaya di depan dan ingin melumatnya. Ia terus bergumam soal rusak, tak berhargadan sakit dengan suara yang nyaris habis. Sementara Geo yang kian bingung akan tingkah ganjilnya, membelalakkan mata begitu ujung sol sepatunya mengambang di ujung koridor.

"Kau ini kenapa, sih? Sudah gila? Bagaimana kalau kau jatuh dan kena tanaman beracun, hah?!"

Velia belum meraih kesadarannya ketika tangan kokoh itu lagi-lagi terselip melewati pinggang, merayap ke punggung dan menariknya kencang sampai hidungnya bertubrukan dengan kaus Geo. Ia tak mampu menolak aroma rempah dan citrus yang menusuk penghidunya, begitu kuat, terlalu menenangkan. Hingga tanpa sadar Velia menggerakkan jemari kanannya meremat kain lembut di dada Geo kemudian meremasnya kencang.

Menangis hebat.

"Aku takut ... aku sendiri ... tak ada yang akan menemaniku lagi...."

Ketatan rahang Geo mengendur. Bara emosi yang menggelegak perlahan menyurut. Pelipisnya menegang kaku. Berusaha keras melarang insting hatinya yang ingin sekali menunduk dan mengecup pucuk rambut Velia. Kedua tangan yang mengambang itu terkepal kuat. Apalagi ketika kaki Velia semakin lemas dan menumpukan berat badan sepenuhnya pada Geo, ia harus mengeraskan tenaga.

"Aku butuh dirimu," aku Velia nelangsa. Kecamuk pikiran dan lara yang membengkak di sekujur tubuh membuatnya lemas. Ia sama sekali tak memiliki pegangan, alasan yang menjadikannya tegak kembali. Namun, begitu degupan kencang di balik dada tegap ini menggerogoti pendengarannya, Velia merasa hidup.

Ia merasakan nyawa yang sempat melayang dari benaknya.

Geo memejamkan mata rapat, membiarkan bawah mata dan garis hidungnya mengerut kencang. Ia terus memikirkan keputusan yang sudah ia buat dari tadi. Pilihan yang menimbulkan derap langkah cepat mencari sosok rapuh ini.

Alasan ... yang membuatnya kembali.

Karena itu, meski harus menelan ludah berkali-kali, pertahanannya ia luruhkan. Geo mengangkat tangan kaku, menyapu lembut surai hitam Velia yang kian bergetar sesenggukan kemudian berbisik dengan napas tercekat, "Aku ada di sini."

Ya, seperti ini dulu.

Memang ini yang ia harapkan, 'kan? Velia kembali ke kungkungannya. Harusnya Geo senang karena tak perlu repot membujuknya sampai merengek seperti bayi sok manja. Diluar dugaan, Velia-lah yang datang sendiri dan meminta perlindungan darinya.

Geo meyakinkan diri yang terus goyah karena isakan menyayat Velia. Satu kalimat terus ia gaungkan di benak, memberi sugesti agar ia tak kembali luluh seperti dulu.

Sebentar lagi, semua akan berakhir.

Ia hanya harus menunggu sejenak.

Dengan elusan kaku dan pelukan sepihak, ia membiarkan Velia memperdalam dekapan hingga dirinya tersembunyi di dalam tubuh tegap Geo. Tanpa menyadari, bahwa sepasang netra yang selama ini menatap penuh binar nan hangat ...

... telah berubah menjadi sorot datar tanpa riak.

***

Yera tak mampu memokuskan atensinya pada gameonline yang tengah ia mainkan di warnet. Sudah setengah jam ia menekan keyboard dan mouse untuk menggerakkan asal mobil sporty merah andalannya di salah satu meja yang diselimuti papan untuk menjaga privasi dari para penyewa. Headphone merah yang terpasang tak berfungsi sama sekali. Konsentrasi Yera terlalu sibuk di dunia lain.

Bagaimana keadaan cewek itu?

Apa dia baik-baik saja?

Rentetan pertanyaan serupa tak henti merajam pikirannya. Berapa kali pun Yera menggeleng dan mempercepat laju itemnya di arena balapan, tetap saja bayangan ketika cewek itu menatap sekelilingnya waswas seakan meminta pertolongan ... Yera makin tak mampu membendung rasa cemas yang mendera.

Karena itu, dengan bibir mengunyah kesal, ia pun ke luar dari warnet pengap itu dan menunggangi Red Hondanya sembari memasang helm merah-hitam, kemudian melaju menuju sekolah.

Mata setajam elang Yera berusaha memperjelas pandangan. Karena sudah lewat jam enam malam dan pekat mulai menggerayangi jalanan, ia harus lebih fokus jika tak mau kecelakaan. Mengingat Makassar adalah salah satu kota tersibuk di Sulawesi Selatan, walaupun surya sudah lenyap dari kediamannya. Daerah yang dipenuhi rentetan bangunan menjulang ini akan selalu penuh dengan kendaraan, dan lebih membludak saat maghrib tiba.

Sekitar lima belas menit, setelah memilih jalan alternatif yang lebih jauh, Yera pun tiba di depan sekolah. Hamparan lapangan sepak bola yang begitu luas membuatnya harus menyipitkan mata. Apa Velia sudah pulang? Karena dari penglihatannya, gerbang yang menjulang tinggi itu telah tergembok.

Namun, tak seperti dugaannya, ia justru terperangah melihat Blue Yamaha mengilap keluar dari sisi kanan gedung yang terpisah dari bangunan sekolah. Meski muka pengendaranya tertutup kaca helm yang begitu hitam, Yera sudah tahu siapa lelaki itu.

Dan yang paling menjatuhkan rahangnya adalah saat retina Yera menangkap gadis mungil yang terus ia pikirkan tengah memeluk Geo dari belakang. Yera sama sekali tak mampu melihat wajahnya karena Velia menutup rapat celah yang bisa ia raih dengan menelungkupkan kepala kecilnya ke sisi seberang.

Alis Yera menukik tajam, desis mengerikan membahana ketika motor sebiru langit malam itu melambat di sebelahnya, tampak mengejek karena Geo membunyikan klakson dua kali. Dan tanpa memberi Yera kesempatan menghajarnya, Blue Yamaha itu sudah melaju membelah jalanan yang mulai lengang karena waktu petang sudah habis.

Meninggalkan Yera dengan segudang penyesalan yang lagi-lagi merajam hatinya.

Perasaan yang sempat membuncah karena mengira bahwa gadisnya akan kembali ia miliki.

"Sialan!"

[END] Dadah, Mama!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang