49 | Oleh-oleh

31 1 0
                                    

"Siap-siap, jam tujuh nanti kita makan malam di luar." Andra kembali menutup pintu kamar putrinya, tak tertarik mendengar respon Fial sama sekali. Fial yang tengah mengerjakan tugas di laptop memandangi layar itu kosong. Senyum sinis terpatri. Selalu saja begitu. Baik Andra maupun Fera, tak ada yang peduli pada pendapatnya. Toh, Fial hanya putri satu-satunya di keluarga kaya ini. Siapa yang akan mendengar suaranya?

Awalnya Fial menurut saja. Sejak petang tiba, ia sudah siap dengan gaun biru tua yang 'layak' untuk dipakai menemui kolega orang tuanya. Fial memang tidak peduli, tapi tetap menghargai suruhan Andra dengan bersiap sebaik mungkin, supaya tak mempermalukan image mengagumkan orang tuanya.

Sudah jelas. Fial mendapat ultimatum semacam itu sejak dia kecil. Tak jarang Fera akan mencubit pahanya diam-diam waktu Fial berlaku kekanakan atau mempermalukan mereka. Yang ada di mata Ayah dan Mama cuma satu, mereka harus dihormati semua orang. Leher mereka mesti lebih tinggi dari pada orang lain.

Mercedes Benz hitam Andra berhenti di depan Claro Hotel yang diambil alih valet parkingsesaat setelah mereka turun. Fial yang keluar terakhir melihat tangan Fera yang mengamit lengan Andra mesra, bikin Fial mau muntah saja. Kenapa, sih, keluarganya selalu berakting menjijikkan begini tiap ada pertemuan dengan orang lain? Membosankan. Fial muak.

Sebelum mereka diarahkan ke restoran hotel, Fera menoleh, menatap tajam putrinya. "Fial, kau tahu tidak boleh kekanakan, 'kan? Jaga sikapmu."

Fial tidak menjawab.

Begitu tiba di ruangan privat yang sengaja dipesan sejak berhari-hari lalu, Fial menyorot pasangan seumuran orang tuanya berdiri menyambut mereka. Fial sama sekali tidak tertarik dengan kemewahan pakaian istri pria itu, atau membuka buku menu, mengingat makan malam hari ini tentu akan ditanggung oleh kolega Andra. Fial tidak selera. Fera memang sering membawa Fial ikut serta di acara seperti ini, tapi kalau biasanya Fial ikut agar dikenal untuk keperluan bisnis setelah Fial dewasa, kali ini Fial mencium hal lain. Sesuatu yang amat Fial benci.

"Pak Yoga, sudah lama?" Andra menjabat tangan lelaki tiga puluhan itu akrab, sementara Fera bercipika-cipiki dengan Rissa.

"Maaf, ya, kita telat. Macet sedikit tadi." Fial tak ingin mendengar nada manja menjijikkan yang Fera perdengarkan itu. Dia memilih menarik kursi bagian tengah di antara tiga kursi yang tersisa, tapi Rissa menginterupsinya.

"Sayang, kau duduk di sebelah Bagas, dong. Masa calon tunangan duduk berjauhan?" Lantas ia tertawa anggun, diikuti Fera dan Yoga.

Alis Fial membentuk lengkungan. Apa-apaan ini? Tunangan? Fial menoleh, siap mengeluarkan protes pada mamanya, tapi Fera sudah lebih dulu memelototinya. Wanita itu mendekatkan bibir ke telinga Fial. "Menurut saja, jangan buat Mama malu." Fial meringis kala rematan di lengannya menguat.

Kecanggungan yang tercipta membuat cowok jangkung itu bangkit, menarik kursi untuk Fial, kemudian mempersilakan Fial duduk. Ia tersenyum tipis, berusaha akrab dengan Fial, yang sama sekali tak tertarik Fial lirik.

"Kita pesan dulu, yuk?" Yoga menginterupsi keheningan setelah semua orang duduk. Lelaki itu mengarahkan Andra dan Fera agar mengecek buku menu, kemudian sibuk menyebutkan pesanan pada pelayan.

Fial melayangkan tatapan tajam pada cowok ber-quiff haircut itu. Sebenarnya dia keren, cukup macho dan tidak cupu. Kalau mereka bertemu di club atau kampus, mungkin Fial akan tertarik. Cowok ini memang termasuk tipenya, sebab meski dalam balutan jas formal yang tidak terkancing, ia tetap mampu memancarkan messy look yang ganteng.

Namun, fakta bahwa dia salah satu anak dari kolega Andra sudah cukup menjatuhkan kesancool-nya di mata Fial.

"Apa lihat-lihat?!" Fial memelototi Bagas, membungkam mulutnya yang hendak memulai percakapan. Alhasil, Bagas hanya diam selama orang tuanya berbincang, tahu Fial sedang tidak dalam mood yang bagus.

[END] Dadah, Mama!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang