03 | Try to Hug You

803 78 9
                                    

PLAK!

Tamparan telak yang melayang tanpa aba-aba menimbulkan gempar penuh keterkejutan di jantung Velia. Gadis itu menyentuh pipi yang mengebas begitu jalar kemerahan mulai menampakkan diri.

"Kau ini malas sekali jadi anak! Apa sesusah itu cuci piring sebelum aku pulang? Kau bahkan belum memasak apa-apa! Tidak lihat jam atau matamu yang terlalu buta untuk digunakan, hah?! Jawab!" Wanita berperawakan ringkih nan tegas dimakan beban hidup itu melempar panci aluminium ke arah Velia yang tersungkur kaget. Benturan keras memekikkan telinga terdengar begitu stainless mengilap itu beradu dengan tembok wastafel. Pejaman takut terus Velia lakukan ketika Hana mendekat dengan muka garang.

"Aku sudah capek kerja delapan belas jam cuma buat menghidupi anak tak tahu diri sepertimu! Apa kerja kerasku harus kau ludahi dengan membangkang begini? Vel, aku tidak muluk-muluk. Aku mau kau membantu pekerjaan rumah biar sepulang kerja, aku bisa istirahat dengan tenang! Tapi apa yang kau lakukan? Kau tidak lihat jam berapa sekarang?" Hana membuka arloji merah marunnya kasar kemudian memaksa Velia melihatnya. "Sudah jam sepuluh malam! Aku bahkan belum makan siang saking sibuknya. Berkali-kali kubilang, menurut saja! Tidak ada nasi atau lauk sama sekali! Kau mau membuatku mati kelaparan? Atau kau memang berniat membunuhku? Iya?!"

"Maaf, Ma. Aku baru pulang dari ngeprint tugas. Tenggat waktunya cuma sampai besok. Kalau aku tidak menyelesaikannya malam ini, aku bisa---"

"Apa?! Jadi kau baru pulang selarut ini? Velia! Kau lupa aturan di rumahku? Jangan ke luar malam! Belum cukup kau membuatku lapar seharian, kau juga membandel dengan keluyuran di luar? Otakmu itu kau taruh dimana, astaga!" Hana meremat rambut sewarna dengan putrinya linglung. Segala kerumitan pekerjaan menumpuki pikirannya. Kenapa pula dia harus dibebani dengan kenakalan anak tak berguna ini?

"Bukan begitu. Aku ... aku benar-benar lupa belum masak, Ma. Sepulang sekolah aku langsung mengedit bahan presentasi terus jalan ke luar. Aku kira akan sempat memasak makanan sebelum Mama pulang," jelas Velia berusaha mencari pembenaran. Kepalanya menunduk kaku. Jari kurusnya gemetar tak keruan. Hantaman pukulan Hana masih menimbulkan tremor di tubuhnya.

"... ah, jadi sekarang kau membuat alasan akan memasak, begitu? Untuk apa? Kau kira aku akan percaya dan bersujud memohon maaf karena sudah mengomelimu? Itu yang kau mau?"

Velia terus menutup mata karena wajah Hana hanya terpisah beberapa senti dari mukanya. Mengerikan. Wanita bermata tajam itu terus berteriak kesetanan di depan mukanya.

"Tidak, Ma...."

"Terus kau mau apa sekarang, hah? Aku sudah telanjur lapar. Terserahlah! Malas aku mengurus anak tidak punya otak sepertimu." Hana mengibaskan lengan abai lalu bangkit meninggalkan tubuh Velia yang masih tepekur merenungi kesalahannya. Single mother itu mengambil ponsel dan kunci mobil yang sudah dia lempar ke sofa lalu masuk ke kamarnya sambil membanting pintu kencang.

Velia refleks memejamkan mata kaget. Dia menatap pintu kayu bercorak abu-abu itu nanar. Pipinya menggembung penuh sesal. Padahal, dia sudah membelikan bahan mentahan dari supermarket agar bisa membuatkan Hana makanan kesukaannya; nasi goreng dan tumis ayam pedas manis. Velia bahkan menghabiskan simpanan uang jajannya selama satu bulan demi menghangatkan hati Hana yang membeku diterpa kebencian mendalam.

Velia pun tak mengerti perubahan sikap Mama. Perbedaan drastis melonjak ketika Mama menerima jabatan sebagai akuntan di sebuah perusahaan asing yang cukup jauh dari rumah. Tepatnya, kala Velia baru menaiki kelas sebelas. Semenjak itu, sikap datar Hana kian membengkak dibarengi umpatan frontal yang tak pantas diucapkan.

Velia ingin mengakui kesalahannya. Entah untuk hari ini atau perbuatan tahun lalu yang belum dia pahami apa sebab mamanya begitu membenci hingga rela melempar perabot rumah ke arah Velia nyalang. Tamparan bukan hal lumrah lagi di rumah kecil ini. Namun, tiap suara lemparan yang berperang dengan perkataan setajam belati selalu merajam hatinya telak. Hati Velia serasa ditusuk ribuan paku beruntun tanpa memberinya ampun untuk sekadar menjelaskan.

[END] Dadah, Mama!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang