Kaca jendela di atas kasur itu tampak berkabut. Gerimis yang menghujani membuat suhu di luar menjadi lembap. Velia melirik bekal nasi goreng di tas selempangnya sambil membuka ponsel. Perasaannya masih berguncang sejak semalam. Namun, ia tetap memedulikan kegiatan Geo hari ini. Seperti percakapan mereka dulu, bandAreas akan mengikuti lomba yang diadakan sebuah universitas. Tak begitu jauh, tapi Velia ingin memberikan hadiah kecil untuk kekasihnya.
Velia: Bisa tunggu aku sebentar sebelum pergi? Ada yang ingin kuberikan.
Pesan yang ia kirim semalam sama sekali belum berbalas. Velia sangsi Geo akan bermain ponsel, mengingat lelaki itu sangat jarang menghubunginya akhir-akhir ini. Karena itu, setelah menepuk pipinya yang lebih pucat karena tidak bisa tidur, Velia segera menuruni tangga bertehel biru. Niatnya sarapan lenyap begitu saja. Kepalanya masih dipenuhi tanda tanya akan tragedi yang Hana lalui. Siapa mereka, mengapa mengganggu Mama sampai menyiksanya? Semua itu hendak Velia tanyakan karena otaknya sudah mengembung, nyaris pecah saking bingungnya akan labirin masa lalu Hana.
Hanya dia yang tak tahu apa-apa.
Padahal ialah akar dari semua masalah ini.
"Pagi, Ma! Aku sudah buatkan nasi goreng tadi. Makan sedikit, ya?" Velia berujar kaku. Ia tak terbiasa beramah-tamah seperti ini. Namun, ia terus berusaha mendekati Hana dengan cara sederhana.
Wanita itu diam. Dahinya bergaris sambil menganalisa data keuangan di tablet sambil sesekali menyeruput kopi yang masih mengepulkan uap panas. Entah itu keberuntungan atau bukan, tapi Hana memang selalu bersikap wajar meski telah mengalami depresi. Velia cukup salut dengan itu. Pengendalian diri Mama sudah cukup kuat, tak seperti dirinya.
Velia bergerak kikuk. Tak ada satu pun ocehannya yang Hana balas. Rasanya pahit dianggap seperti makhluk tak kasatmata, padahal ia sudah memaksakan diri agar bisa tersenyum. Gadis itu menghela panjang, berusaha mengenyahkan gelenyar pedih di sudut hati. Velia melirik nasi goreng pedas dengan suwiran ayam yang cukup banyak. Di sela tumpukan nasi, ada irisan sosis yang mencuat kilap. Cetas bahagia muncul. Ia segera mengambil piring, menyendoknya dua centong lalu membawanya ke sofa tempat Hana berdiam diri.
Sambil memeluk tas putih gading yang tampak menonjol karena ada kotak plastik berwarna biru, ia menyerahkan piring keramik itu hati-hati. "Aku masak kesukaan Mama lagi. Ini." Senyum cerah terpatri, amat lebar, hingga pipi tirus Velia nyeri karena terlalu lama terangkat.
Tak ada jawaban.
Velia menelan ludah gugup. Penolakan Hana adalah hal biasa baginya, tapi tak direspon sama sekali meski jelas-jelas Hana mendengarnya, sangatlah menyakitkan. Apa dia tak bisa membalas tatapannya sebentar saja? Sepenting itukah rentetan angka di kolom dibanding eksistensinya?
Velia mulai egois.
Dengan amarah merambat, ia meletakkan piring ke meja makan cukup keras. Suara benturan logam dan kaca merebak. Ia mengabaikan kemungkinan rambutnya akan dijambak jika meja mahal itu pecah. Velia memejamkan mata sejenak, menekan kuat-kuat denyut ngilu di dada yang terus membuat emosinya naik. Semakin lama, Velia kian tak mampu menahan beban. Pengabaian yang Geo lakukan juga memperburuk sudut romansa dalam dirinya.
Karena itu, Velia berbalik. Berdiri menjulang di depan Hana dengan kantong mata menggelap. Ia menyorot wanita itu tajam. "Sebenarnya apa yang terjadi pada Mama waktu itu?" tanya Velia berusaha netral, tapi getaran hebat di tenggorokan membuat suaranya tremor dan terdengar menghakimi.
Gerakan tangan Hana terhenti. Garis tipis di keningnya lenyap, tapi alis cokelatnya langsung menukik tajam. Bibir itu mendesis geram, kemudian kembali menyeruput kopi sebagai peralihan fokus. Tenaga Hana terkuras habis karena teror semalam. Meski Ersa sudah menjejalkan obat penenang, tetap saja, jika diingatkan tiba-tiba, darahnya akan langsung memanas.
"Kalau aku tanya itu jangan diam, Ma!"
"Tutup mulutmu!" Hana kehilangan kendali. Ia menyentak lengan yang memegang cangkir kopi ke arah Velia. Menumpahkan minuman panas ke seragam putihnya yang tipis dengan berang.
"Aaakh!" Gelenyar panas langsung membuat perut Velia melepuh. Dengan panik Velia mengepakkan kemeja agar tak menempel ke tubuhnya. Namun, sensasi panasnya begitu kuat. Apalagi wajahnya terciprat cukup banyak. Sudut matanya perih, mungkin kemasukan ampas kopi. Sementara cangkir kaca itu menubruk sepatu hitamnya dan langsung pecah kala jatuh ke lantai.
Mata Velia kian memerah. Ini sangat perih! Ia harus segera ke toilet dan melepaskan pakaiannya. Kedua matanya tertutup rapat, mencegah serbuk hitam itu masuk semakin dalam. Namun, cekalan kencang di lengan atasnya menghalangi.
"Lihat aku." Hana mencengkeram lengan anaknya kuat. Terlalu kencang, hingga kulit itu memucat, tampak kehabisan darah di sisi rematan. Ringisan Velia meradang.
"Jangan pernah mencampuri urusanku sekecil apa pun itu!" Dahi memerah itu ditoyor kasar. Kepala Velia makin pusing. Pandangannya mengabur, seiring air mata meleleh tanpa bisa dibendung. Matanyalah yang paling parah.
"Ma, panas...!" Ia berusaha melepas cekalan agar bisa mengusap mata, tapi Hana malah menyentak tubuh itu kuat dan mendorong Velia hingga terjerembab menghantam kaki meja. Menggetarkan meja, hingga piring nasi goreng yang berada di pinggir bergerak lebih jauh.
Hana menunduk, mengangkat dagu panas Velia kasar. Sementara tubuh yang bergetar itu terpaksa menatap dengan mata berkedip kalut. "Ingat kata-kataku, jangan sekali-kali berani melontarkan kalimat yang berhubungan dengan masalah itu di depan mataku. Paham?!" Bibir Hana mendesis kian berang. Setelah Velia mengangguk, diempaskannya kepala itu hingga memukul kaki meja dan piring keramik langsung menghantam kepalanya.
"Aaaakh!" Pekikan Velia kian nyaring. Butiran nasi yang masih hangat memenuhi wajahnya, membuat sekujur tubuhnya tambah panas. Kepalanya bergetar hebat. Pandangan Velia makin buram. Suara stiletto yang terantuk ke teras hingga bunyi mesin melaju tak ia hiraukan. Velia terus meraba meja dan dinding kemudian menyalakan keran di wastafel. Membasuh wajahnya gagap.
Kedua tangan itu bergetar kencang. Sekuat tenaga Velia menyatukan tangan agar linangan air tetap tertampung dan ia usapkan ke wajah. Beberapa kali, hingga perih di matanya berkurang.
Gemericik air yang mengalir deras tak menyamari isak tangis yang menggema di toilet. Velia menundukkan badan, membiarkan lengan kurusnya yang memerah tersapu air dingin.Sedangkan tengkuknya terjatuh. Mata Velia terpejam rapat dengan punggung yang bergetar hebat.
Ia kira, Mama sudah berubah.
Apa yang Velia alami akhir-akhir ini hanya ilusi? Bermimpikah ia sampai mengira telah bahagia dengan buncahan kasih sayang dari orang-orang pujaannya ini?
Atau sebenarnya ... hanya Velia yang terlalu sibuk menyembuhkan diri, hingga menganggap semua penderitaan yang mereka layangkan sebagai bentuk rasa cinta?
"Dasar bodoh," umpatnya geram. Merutuki keluguannya yang begitu mudah percaya akan sikap Hana. Harusnya ia tak pernah percaya! Harusnya ia memang tak pernah bahagia.
Selama satu jam Velia membersihkan diri sambil terus menangisi kedunguannya. Rasanya, ia tak mau ke sekolah saja. Namun, mengingat ada bekal yang ia siapkan untuk sosok spesial, sembari memikirkan bahwa masih ada Geo yang mencintainya, Velia pun bangkit. Menatap dirinya yang begitu kacau di dalam balutan seragam yang lebih tipis—pakaiannya tahun lalu. Memar merah di lengan dan wajah membuatnya tak bisa memakai jaket atau pun masker. Menyentuhnya saja Velia sudah memekik kesakitan. Hanya polesan salep yang ia andalkan sebagai obat. Semoga luka ini tak akan melepuh, terutama di bagian perutnya yang paling parah.
Demi Geo, ia akan pergi membawakan nasi goreng serta mengucapkan beberapa pesan semangat agar ia lebih tenang dalam bernyanyi saat lomba nanti.
Sudut bibir Velia bergerak sedikit, meski kedua matanya bengkak dan memerah, pipinya berkedut senang.
Ya, ia masih punya Geo.
Lelaki yang menyayanginya.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
[END] Dadah, Mama!
Ficção AdolescenteBullying, kekerasan dari Mama sendiri merusak jiwa Velia perlahan sampai dia stres hingga depresi. Satu-satunya sahabat menatap dia rendah setelah tahu Velia menyukainya, membiarkan ia tenggelam sendiri dan memilih bersandar ke sosok baru. Penghinaa...