20 | Fake Confess?

251 40 2
                                    

"Aku dengan Yera ... hanya, tadi itu...." Velia terbata-bata menjelaskan. Mata bengkak kemerahan dan semburat malu yang terpajang jelas di muka membuatnya tampak kian menggemaskan. Keduanya berjalan bersisian melewati lapangan voli di mana jala net masih mengambang tersapu angin sore.

"Tidak masalah. Aku tak akan bertanya," urai Geo tenang. Jaket abu-abu terang ia biarkan berayun mengikuti langkahnya. Kaus hitam yang sempat Velia remas itu sedikit menempel ke dada bidang Geo yang berkeringat setelah berjam-jam latihan.

Seperti sebelumnya, Geo tak menuntut agar Velia menjelaskan hal rancu yang terjadi di depan mata. Apa ia tak penasaran? Mungkin, cowok itu juga sama tidak pedulinya seperti Yera.

Dentuman hebat kembali menerjang batin Velia.

Lengan kurus itu bergetar, manik secokelat kakaonya berkaca-kaca. Velia tak mau diperlakukan seperti itu lagi. Jangan sampai Geo menolongnya hari ini, kemudian mencampakkannya saat Velia sudah bergantung sepenuhnya. Maka dari itu, ia mengeraskan muka, hendak melihat reaksi cowok itu. Apa Velia akan mendapat hinaan yang sama?

"Yera menjauhiku tanpa sebab. Sikapnya berubah 180 derajat. Makanya, aku menanyakan alasan kenapa dia begitu membenciku. Dan seperti yang kau lihat, aku rasa kau mendengar perkataan terakhir yang dia ucapkan," jelas Velia tajam. Tarikan napas pendek terdengar berat. Pipinya berkedut. Pasti cowok ini akan memarahinya dan membentak agar ia tutup mulut—

"Aku tahu," ujar Geo tanpa ekspresi. Namun, ketika Velia mendongak dengan wajah terkejut, ia mendapatkan tatapan selembut angin yang menghalau pandangan. Lelaki itu tersenyum tipis, mencubit pelan hidung mungil bak tomat di hadapannya. Velia makin terperangah kala kekehan ringan Geo membiusnya. Sekejap, ia terdiam menatap pupil hitam yang tak henti menyorotnya hangat. Penuh kasih. Seakan kesarkasan yang ia lontarkan sama sekali tak mempengaruhi perasaannya.

Apa itu?

Kenapa Geo tidak menghunjamnya dengan pandangan benci?

Velia kira, semua orang sudah tak sudi melihatnya....

Tangan kekar Geo menepuk kedua bahu Velia yang terbalut jaket tipis berkedok kardigan. Menekannya pelan, hendak menyatukan fokus si cewek. Lagi-lagi, ia tersenyum cerah.

"Aku tidak akan meminta apa pun. Cukup berhenti menangis, dan tertawalah saat bersamaku," pintanya tulus.

Velia tak mampu berkata-kata. Apa yang terjadi? Kenapa dendam yang merambati nuraninya malah disirami rinai hujan menenangkan?

Padahal, ia bisa melepaskan diri dari pria itu kalau Geo juga menghardiknya.

Bukannya tatapan datar, Velia justru mendapat kalimat manis yang terdengar begitu candu. Rentetan kata ... yang menenangkan letupan linu di dadanya.

Velia terus bungkam sampai tak sadar Geo sudah memasangkan helm biru ke kepalanya. Vokalis band sekolah itu membawa motor besarnya keluar dari parkiran, kemudian menyalakan mesin setelah memakai helm yang terantuk di kacaspion.

"Ayo!" ajaknya riang.

"Hah? Mau ke mana?" heran Velia terbata-bata.

Netra kelam Geo menyipit. Sepertinya, gadis ini terlalu banyak pikiran hingga melupakan percakapan mereka tadi siang.

"Naik saja," tuturnya tak ingin memperpanjang. Tergaguk-gaguk, Velia menurut. Sambil berpegangan pada uluran tangan Geo, ia pun duduk manis di jok belakang yang cukup tinggi.

"Pegangan!" Pria itu menyuruh di sela laju motor melewati gerbang sekolah.

"Kita harus cepat kalau tidak mau terlambat."

***

Velia mengernyit begitu mereka melewati Trans Studio Mall yang tampak mencolok di antara deretan bangunan bertingkat. Ia bukan tipe gadis yang menganggap daerah paling ramai itu sebagai hal lumrah. Velia bahkan lupa kapan ia melewati jantung kota yang mulai dipadati kendaraan para pekerja. Ke mana Geo akan membawanya?

Panik mulai melanda cewek berambut panjang itu. Kenapa pria ini berputar ke jalan Metro Tanjung Bunga yang jarang dilalui kendaraan? Velia hanya mendapati satu-dua motor berlalu tanpa sempat ia berteriak. Belum lagi, kecepatan 80km/jam BlueSporty itu nyaris membuatnya memekik kaget sampai harus berpegangan pada jaket kelabu Geo.

"Buka matamu."

Suara bass yang lembut menyapa gendang telinganya. Velia mengerjap, merasa rikuh kala menyadari pergelangan tangannya melingkar erat di perut cowok itu. Ah, memalukan!

"Sebenarnya kau mau membawaku ke mana...." Pertanyaan Velia mengambang. Tubuh yang duduk tegak nan kaku itu terpana pada apa yang ia lihat dengan mata telanjangnya.

Angin dingin menerbangkan helai rambut yang terjepit mawar merah. Ombak yang menggulung kabur air pantai hampir mengenai telapak kakinya. Laut tak berujung tampak seperti fatamorgana. Apalagi, ketika Velia menengadah, bentangan awan putih gading melingkar abstrak. Kilatan cahaya oranye pekat mengaburkan penglihatannya. Namun, ia enggan menutup mata melihat bulatan surya yang seakan sengaja ingin bertutur sapa dengannya.

Belum hilang keterkejutan Velia, ia sudah kembali tergelagap melihat bentangan dermaga sepanjang 150 meter dengan hiasan bohlam sebagai pucuk pagar artistik yang melebar horizontal di ujung sana. Sungguh memukau. Di ambang jalan, papan berjaring terpampang unik dengan hiasan kerlap-kerlip lampu kecil menyelimuti tulisan Dermaga Cinta. Hah ... ia lagi-lagi kehabisan kata-kata.

"Turunlah! Kau tidak mau ke ujung sana?" ajak Geo sambil mengulurkan tangan yang menimbulkan urat-urat jantan di baliknya.

"Mau-mau-mau!" Velia memekik kesenangan. Tersenyum riang kala menyatukan jemari kecilnya dan menuruni motor biru Geo hati-hati. Ia terus menggumamkan kata 'woaaah' di sepanjang jalan. Manik bulatnya kian membesar, begitu terpikat dengan gulungan air bercorak gradasi putih-oranye-hitam karena terbiaskan cahaya matahari. Tidak banyak pengunjung membuatnya leluasa melirik setiap sisi pantai Akkarena yang baru ia sadari kehadirannya.

"Warnanya makin kental!" lapor Velia heboh kala pemilik senja itu bergerak turun secara perlahan. Ia sampai memaksa agar pupilnya tak berkedip. Jangan sampai ia kehilangan kesempatan emas ini!

"Eh?" Velia terperanjat begitu aroma citrus dari jaket yang Geo sampirkan ke pundaknya menguar. Velia melirik pria itu, hendak menolak karena ia tak kedinginan sama sekali. Apalagi, ia sudah memakai kain lembut seungu lavender yang lumayan tipis.

Dan untuk kesekian kalinya, ia tercenung.

Surai hitam yang sedikit teracak bergerak tersapu angin petang. Hidung mancung bertengger kokoh di antara alis tebal kecokelatan. Di bawahnya, sepasang kelopak mata dihiasi bulu mata panjang alami. Dan yang paling berbahaya ... mata setegas elang yang menatapnya dalam. Memabukkan.

Velia seolah terbius. Ia tak mampu menoleh pada oranye pekat yang mengelilingi keduanya. Konsentrasinya dikunci rapat, seakan tak membiarkannya memalingkan pandangan sedikit pun.

Tungkai kakinya langsung melemas begitu Geo menarik lengkungan manis di bibir berisinya yang merekah segar. Pertahanan Velia runtuh kala pria memikat itu menunduk, membuatnya semakin mabuk karena mendapat sorotan sepanas senja.

"Velia," Geo membelai pipi kanannya halus.

"Jadi kekasihku, ya?"

Hampir saja ia tergelincir sebab tak mampu menyeimbangkan diri, sebelum tangan kokoh itu merengkuh pinggangnya refleks dan membuat jarak yang terpaut semakin terkikis habis.

"Aku janji, kau tidak akan menangis lagi seperti hari ini. Karena aku ... sudah ada untukmu."

Velia benar-benar tak menyadari anggukan kaku yang ia lakukan. Cuma tarikan cepat dan dada bidang berbau rempah menyapa penciumannya. Dekapan erat dan hangat, yang sangat ia butuhkan selama ini.

***

[END] Dadah, Mama!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang