15 | Kubenci Aku

314 38 0
                                    

Tekad memang mampu menggerakkan asa tak terbendung. Keyakinan kuat akan meluruhkan segala ruam yang menyerang sanubari. Namun, jika hati mengambil alih logika, Velia tak yakin semua janji yang ia ucap semalam akan tetap ia genggam.

Karena nyatanya, ia tak bisa.

Entah itu hati, pikiran, mau pun nuraninya.

Ketika semua orang berkerumun di lapangan setelah mengejar nilai dalam olahraga voli, Fial menyuruh Velia mengambilkan botol air dan kipas elektrik di laci meja. Mendengar itu, sembilan cewek yang khawatir makeupnya luntur segera meminta titipan seperti tisu, parfum, dan bedak agar keestetikan mereka tetap terjaga.

Dengan lemas, Velia bangkit. Berlari kecil melewati ring basket, lorong kelas sepuluh, deretan tangga dan membuka pintu lebar berlambang XII RPL di puncak dinding. Sengalan napas putus-putus membuatnya lelah. Ia berhenti sejenak. Mengatur laju udara yang mengalir di hidung mungilnya sambil menekan jantung beberapa kali. Setelah menelan ludah, tangan berkeringat itupun menekan handle pintu dan melangkah ke dalam.

"Yera? Kau—kau tidak apa-apa?!" Suara Velia tercekat begitu sosok yang akhir-akhir ini lenyap dari perhatiannya duduk dengan mata terpejam. Kening Yera berkerut-kerut menahan sakit. Seluruh tubuhnya panas, keringat dingin tak berhenti mengaliri wajah pucat itu.

"Badanmu panas lagi?" Velia seolah hilang ingatan. Ia melupakan ego dan janji tak akan memedulikan Yera lagi. Ia berlari, mencari kipas ke kolong meja Fial, Tena, dan siswi lainnya. Namun, nihil. Ia tak mendapat apa pun yang dapat mendinginkan Yera. Cepat-cepat ia membongkar ransel putihnya, mengambil buku gambar besar dan merobek sampulnya asal. Velia bahkan tak memikirkan pelajaran Seni yang harus mengumpulkan hasil gambar di akhir pelajaran nanti. Yang ada di pikirannya hanya Yera.

"Pakai ini dulu. Aku carikan air dingin di bawah. Tenang, ya! Aku hanya sebentar." Secepat kilat Velia menuruni anak tangga yang berliku-liku. Ikatan tali sepatu yang cukup panjang tanpa sadar ia injak membuatnya hampir terjerembab jika ia tidak segera memegang pegangan besi yang memanjang. Tanpa menenangkan keterkejutannya, cewek yang mengucir rambutnya tinggi itu kembali berlari menuju kantin di sudut sekolah.

Velia tidak mengatakan apa pun. Tangan mungilnya bergerak gila mengambil dua gelas air dan sekantong kristal beku lalu membayarnya setelah mengantongi semua itu. Ia kembali melaju ke UKS, membuka paksa pintu kayu yang lagi-lagi tak memiliki penjaga. Mengambil baskom kecil dan handuk, segera ia membuat kompresan air dingin dan kembali ke kelas di lantai tiga.

Velia seperti kesetanan. Bibirnya bergetar kalut. Hanya satu yang menegangkan seluruh saraf di kepalanya.

Ia tidak mau Yera terluka.

Apa pun yang terjadi, jangan sampai Yera kenapa-napa lagi. Itu hal tersulit yang ia takutkan.

Dan kini, untuk pertama kalinya Velia melihat Yera sulit bernapas. Gerak jantungnya yang berusaha memompa udara masuk seakan tak berfungsi. Apalagi, tangan yang biasa mencubit hidung Velia itu berubah lemas tak bertenaga. Melihat itu semua, ia sungguh tak mampu.

"Minum ini dulu." Velia memasang sedotan bening ke gelas plastik berbuih dan menyodorkannya pelan-pelan. Si cowok membuka matanya sedikit, kemudian menyesap air itu hingga tersisa setengah. Sementara Velia sudah menjauhkan dua meja dan menyatukan beberapa kursi, juga menjadikan ransel hitam Yera sebagai bantal. Ia menahan belakang kepala Yera agar tidak terbentur dan membaringkannya hati-hati. Debasan nyeri terdengar. Yera berusaha menyamankan diri sambil membuka seluruh kancing seragamnya. Menyisakan kaus abu-abu yang dipenuhi keringat menjiplak dada atletisnya.

"Lepaskan tanganmu dulu! Bagaimana aku bisa mengompresnya kalau kau tahan begini?" Velia menaikkan suaranya. Gemas dicampur kesal melihat Yera yang menutupi kelopak matanya dengan lengan. Bisa Velia lihat pipi cowok itu berkedut geram. Namun, tak urung menuruti kata-katanya.

"Itu terlalu dingin...," desis Yera begitu handuk kecil menyapa dahi panasnya. Walau sebenarnya ia tak boleh memakai kain dingin, tetapisuhu tubuhnya benar-benar perlu dibekukan.

"Tahanlah. Sebentar lagi akan terasa nyaman." Ia menekan handuk yang langsung terasa hangat saat menempel beberapa detik. Dengan bahu menegang, terkaku Velia mengusap peluh di wajah dan leher Yera dengan tisu. Berusaha mengenyahkan pikiran aneh saat melirik dada Yera. Ia merindukkan bagaimana tubuh kokoh itu mendekapnya....

Tangan Velia gemetar ketika Yera menarik kerah bajunya lebih ke bawah. Meminta Velia menghapus keringat yang lebih membara di dadanya.

"Di sini panas sekali," tunjuknya sambil menurunkan pandangan. Meski bergetar, Velia tetap meletakkan tisu baru di sana dan melepaskannya cepat, membiarkan Yera mengambil alih.

Berdekatan seperti ini tidak baik untuk jantungnya. Ia harus menjaga jarak!

Ingat, Vel. Kau bukan siapa-siapa! Velia membatin.

Dengan telaten ia merendam kembali handuk ke genangan air yang dicampur es batu, lalu menempelkannya ke kening Yera setelah meremasnya kuat. Akhirnya, Velia bisa mengembuskan napas lega. Ia melirik jam dinding, sudah dua puluh menit ia di sini. Pasti semua orang menunggunya.

Karena itu, ia bangkit. Mengambil semua pesanan cewek-cewek centil yang pasti sudah mendidih sekarang. Velia pasti akan diomeli lagi nanti, tapi biarlah. Ia bersyukur mereka menyuruhnya. Kalau tidak, mungkin ia tak akan menemukan Yera dan membiarkannya pingsan tanpa ada yang menolong. Walau Oda akan menggeplak kepalanya, Velia benar-benar ikhlas.

Velia menoleh, memokuskan atensi pada Yera yang terus menutup mata. Kernyitan di dahi Yera berangsur hilang. Sepertinya, cowok itu sudah mendingan. Menimbulkan senyum tipis di bibir segar Velia. Gadis itu terus memakukan pandangan ke sana. Pada pria yang berhasil membuatnya panik dan menggila pagi ini.

Namun, saat bayangan Yera membentak dan menepis kasar tangannya sampai terbentur ke dinding, jahitan luka di hatinya kembali terbuka. Velia menunduk, terkekeh pilu dan berkedip merasakan netranya berkaca-kaca.

Sudahlah. Ia tak mau memikirkan hal itu lagi. Cukup lupakan Yera. Hanya itu yang perlu ia lakukan untuk menyembuhkan lara.

Jemari lentiknya terangkat, menggenggam knop pintu hendak menutupnya agar tak ada yang mengganggu waktu istirahat Yera, sementara tas putih penuh botol air dan segala tetek bengek permintaan para permaisuri berada di pelukannya.

Sedetik sebelum pintu kayu tertutup, suara berat nan serak itu terdengar.

"Jangan menghayal terlalu jauh, Velia."

Ia termangu.

"Kau bukan siapa-siapa bagiku." Tatapan Yera memaku langit-langit.

"Dan selamanya akan begitu."

Mulut kecil itu kembali bergetar. Mengirim tremor ke seluruh tubuh dan melemaskan sendi-sendi di tubuhnya.

Untuk kedua kalinya, ia dilempar telak oleh kenyataan.

Dan lagi-lagi, air mata itu runtuh.

Untuk seseorang yang sama. Yang masih memenuhi relung hatinya.

Sosok yang pernah ia anggap,

Kekasihnya.

***

[END] Dadah, Mama!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang