Setelah membayar di kasir, Geo mengajak Velia ke lobi supermarket. Di sana, ada beberapa meja bundar yang bisa mereka gunakan untuk berbincang sambil menikmati es krim yang berayun ketika jari putih Geo bergerak. Senyum tipis terbit di wajah berlesung itu, ketika Velia tak menolak rangkulan darinya. Ia bisa merasakan betapa gemetarnya tubuh mungil di sebelahnya ini. Membuatnya ingin segera menyapu mata bulat itu dengan pelukan.
Geo sengaja memilih meja paling sudut agar Velia tidak terganggu dengan lalu-lalang orang yang bisa melihatnya kapan saja. Ia cukup memahami, bahwa cewek yang tengah mengeratkan kardigan ini adalah seorang introvert.
"Maaf, jaketku tertinggal di motor. Akan lama kalau aku mengambilnya di parkiran. Apa kita minum kopi hangat saja? Kau akan tambah kedinginan kalau makan es," cemas Geo sambil mendorong kursi besi putih ke sebelah Velia. Geo membawa tangan kiri gadis itu ke pahanya, dan mengelusnya dengan ibu jari. Berusaha mengirim sensasi hangat agar Velia tak semakin kedinginan.
"Terima kasih." Velia tak mampu berkata apa pun. Ia tak menyangka Geo akan seperhatian ini padanya. Padahal, ia pernah mengangap cowok ini benalu dan ia hindari berkali-kali. Ternyata, Geo tidak seburuk yang dikira.
"Nah, sekarang, katakan. Apa yang membebani pikiranmu?"
Velia berkedip, tercenung mendengar penuturan Geo setelah mereka diam cukup lama. Tatapannya jatuh pada lelehan cokelat yang mengalir ke crispy cone. Mendadak, ia jadi tidak selera.
"Kenapa kau menanyakan itu—"
"Jangan salah sangka dulu!" Geo langsung memotong kalimat sinis yang hendak Velia ucapkan. Ia memasukkan kembali stik es krim yang belum sempat digigitnya dan memutar badan sepenuhnya ke arah Velia. Ia berdeham singkat.
"Aku tidak bertanya apa yang terjadi, atau siapa saja yang sudah menyakitimu. Aku hanya memikirkan perasaanmu. Beban di kepala kecilmu ini. Itu yang kumau. Aku ingin kau menumpahkan emosi yang terpendam di dalam dadamu. Itu saja."
Velia terperangah.
Cowok ini ... kenapa sampai serumit itu memikirkan dirinya? Memangnya dia siapa sampai Geo repot mengurus pikiran gilanya segala? Velia mulai merasa ... diperhatikan?
"Aku hanya kecewa." Ada senyum lega ketika Velia memutuskan untuk membuka diri. Geo memperbaiki posisi duduknya, berusaha keras memokuskan atensi pada manik kakao yang kembali mengebas.
"Aku tidak ingin mengambil kesimpulan apa pun, tapi dia sendiri yang memulai. Dia yang mendekat dan menegaskan bahwa aku penting dalam hidupnya. Namun, kepercayaan diriku langsung jatuh saat ia tiba-tiba menjadi dingin dan berubah seratus delapan puluh derajat." Velia menatap Geo linglung. Ia sungguh tidak mengerti, di mana letak kesalahannya? Apa yang sudah ia lakukan sampai Yera tega membentaknya sekeras itu?
"Apa aku tidak boleh bersuara? Kenapa aku merasa ... kalau keberadaanku hanya dianggap sebagai tisu untuk menghapus luka lalu dibuang setelah diremuk habis-habisan?" Velia sesenggukan, terisak-isak penuh kebimbangan. Yera sudah mengambil hatinya, meraih kepercayaannya, menariknya dari jurang gelap yang akan melumatnya sedetik sebelum ia menyerah. Namun,
"Kenapa tidak ada yang mencintaiku?" desisnya serak. Suaranya nyaris lenyap. Berjam-jam menangis membuat tenggorokannya tersumbat. Mulut Velia kering. Sejak pagi, tak ada minuman yang hinggap ke bibir mungil itu. Yang ada hanya berliter-liter air mata merembes ke luar.
"Apa aku seburuk itu sampai semua orang menganggapku sampah?" Velia menatap Geo menuntut.
"Aku juga manusia! Kalau dia cuma mau mempermainkanku seperti yang lain, harusnya ia tak pernah bersikap baik. Jangan memberiku ribuan kepedulian kalau pada akhirnya dia akan berbalik dan menusuk hati yang sudah dia lambungkan! Untuk apa?" Napas Velia tersengal.
"Memang apa hebatnya menyakiti cewek sepertiku? Apa itu membuatnya bangga? Dengan mempermalukanku di depan semua orang, membentak ketika aku pusing memikirkan keadaannya, dia pikir semua itu keren? Setelah menyakitiku sebegininya, dia sudah puas, begitu?"
"Aku hanya tidak ingin disakiti lagi ...." Geo segera menahan tangan Velia yang hendak memukul kuat dadanya. Gelenyar ngilu menjalar di seluruh tubuhnya. Melihat cewek yang menangis dengan tatapan seterluka itu ... nurani Geo bergejolak.
"Sssh...." Tarikan secepat kilat mengungkung tubuh bergetar Velia ke dalam pelukan erat. Begitu dalam. Menekan kuat. Seakan meraung agar ia berhenti meneriakkan ribuan nyeri yang merongrong ingin diluapkan. Tangisan yang terendam kaus putih Geo perlahan memelan dan tersisa isakan kecil dan napas tersendat.
Geo tak berhenti mengusap punggung Velia. Memberikan tumpuan terkuat yang ia mampu. Padahal, rencananya, ia ingin menggoda gadis ini sejenak sebelum kembali ke studio untuk latihan. Namun, tak ia sangka binar yang tak lagi tampak di netra cokelat itu membuatnya ingin segera melihatnya kembali. Ingin mengembalikan sinar cerah di sana.
"Kau akan melupakan dia. Aku yakin," sugesti Geo penuh amarah. Emosi mulai meletup-letup di dadanya. Entah siapa cowok berengsek yang berani menyakiti cewek serapuh Velia. Apa ia tak punya otak? Setidaknya, kalau tidak mau memilikinya, jangan memberinya harapan palsu! Batin Geo teriak tak terima.
Velia menggerakkan kepalanya, masih tak sanggup menahan lumatan luka yang kian membengkak di hatinya. Dia benar-benar melepaskan semuanya.
"Aku yakin kau akan kembali baik-baik saja."
Dan kehadiran sosok Geo-lah yang membuka tabir kabut yang menggelap.
Geo-lah, yang hadir di saat terpuruknya.
"Kalau perlu, biar aku yang menggantikan cowok bajingan itu," berang Geo bertekad.
Bukan Yera lagi.
Saat itu juga, Velia berjanji, akan segera mengusir Yera dari benaknya.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
[END] Dadah, Mama!
Teen FictionBullying, kekerasan dari Mama sendiri merusak jiwa Velia perlahan sampai dia stres hingga depresi. Satu-satunya sahabat menatap dia rendah setelah tahu Velia menyukainya, membiarkan ia tenggelam sendiri dan memilih bersandar ke sosok baru. Penghinaa...