67 | Perfect

18 3 0
                                    

Suara ting tung ting tung mobil Gelia berbunyi sebab dia menyalakan mesin, tapi tak kunjung menjalankannya. Lampu bagian belakang White Mazda itu menyala, kelihatan seperti Gelia akan pergi meninggalkan pelataran kampus, tapi yang gadis itu lakukan hanya mengetuk stir dan menggigit-gigit bibir. Keningnya tidak berkerut, tapi dari sorot matanya yang tidak fokus, jelas sesuatu tengah menghalangi pikirannya.

"Kau tidak perlu melakukan ini lagi, Gel. Aku bisa mengatasinya sendiri." Revan yang dipaksa masuk dan duduk ke jok sebelah Gelia bicara dengan gelisah. Lelaki itu memegang handle pintu. "Aku pergi, ya?"

"Keluargamu tahu?"

Pertanyaan itu membungkam Revan telak. Ia buang muka, tak mau menatap Gelia.

"Jawab, Revan. Aku bertanya padamu." Tak ada nada bersahabat. Itu tanda bahwa Revan harus segera berhenti berpura-pura.

Hempasan kencang Revan beri ke sandaran jok, ia membenturkan punggungnya ke belakang. Penutup kepala dari jaket itu tak lagi menutupi matanya, menampakkkan wajah yang terlampau pucat dan kuyu. Mata Revan sayu. Kelopak mata yang membingkai itu berkedip lemah. Revan menekan dahinya pakai telunjuk, menutup mata kala rasa sakit itu meremuk hatinya.

"Mereka mau cerai."

Ketukan jari pada stir mobil itu berhenti. Dari sudut rear view mirror, tidak tampak ekspresi yang bisa diartikan dari wajah Gelia. Gadis itu diam, bungkam bersama kehancuran yang membunuh Revan. Tak ada lagi Gelia yang sinting, bar-bar atau kekanakan menggemaskan yang menarik hati para pria. Perempuan di samping Revan adalah pilar dari persahabatan puluhan cowok, satu-satunya gadis yang didengar. Seseorang yang tak bisa Revan kelabui. Cewek yang selama ini menggenggam tangan Revan yang selalu nyaris bunuh diri.

"Apa yang mereka lakukan padamu? Memukulmu?"

Hanya Gelia yang bisa menatapnya khawatir dan tidak membuat Revan merasa dikasihani.

"Kali ini tidak. Belum." Revan tidak ingat berapa kali Gelia datang menjemputnya tiap Papa habis menendang perutnya, melakukan kekerasan tak tanggung-tanggung pada anak sendiri. Hanya muka Revan yang tak pernah Papa sentuh. Lelaki itu tak mau citranya sebagai aktor paling kind dan baik ke masyarakat miskin tercium media massa kalau ada sedikit saja bekas luka di wajah Revan.

Tak bisa Gelia elak kelegaan yang menjalar saat orang tua Revan belum tahu kalau putra mereka mengonsumsi narkoba. Bisa gawat. Gelia tidak yakin Revan akan selamat kalau papanya membawa Revan ke pusat rehabilitasi atau malah mengurungnya demi menyelamatkan citra.

Mereka siap melakukan apa pun untuk uang. Demi ketenaran, nama baik yang selalu dipuji-puji di tiap acara talkshow dan berita gosip di televisi.

"Aku terima mereka memperlakukanku dengan buruk dan menganggapku tidak ada selama ini. Aku tidak pa-pa sama hal itu, Gelia. Cuma, kenapa harus cerai? Kenapa aku harus disuruh memilih mau tinggal dengan siapa? Itu pun bukan permintaan halus. Segalanya paksaan. Mama bilang, kalau hidup sama Mama, aku akan dia kenalkan ke dunia entertainment dan jadi orang terkenal sepertinya. Katanya, Papa tidak akan bisa memukulku kalau aku ikut padanya, tapi ..."

Gelia tahu. Untuk Revan, Papa adalah harta berharganya. Saat Revan kecil, Papa selalu membelikannya mobil-mobilan besar yang bisa Revan naiki. Papa sering bertanya apa yang Revan lakukan hari ini? Apa Revan senang bertemu teman-teman baru di TK? Saat jalan-jalan ke luar negeri, Revan selalu berada di gendongan Papa, senantiasa mengeratkan jaket mungil Revan agar tak kedinginan.

Namun, Revan baru sadar, kalau Papa melakukan semua itu karena ada kamera.

"Aku rindu Papa, Gelia. Papa yang tidak pernah memukulku. Kalau mereka benar-benar pisah, mungkin aku tidak akan bisa melihat Papa lagi, atau menunggu dia jadi seperti Papa yang selalu kuinginkan. Papa yang ... sayang ... padaku."

[END] Dadah, Mama!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang