25 | Ma

327 38 3
                                    

"Velia, kau dipanggil ke ruang konseling!" Di tengah keheningan yang mencuat, seorang cowok tinggi berbicara lantang. Menyentak para pembuli yang hendak menyiksa Velia lebih lama. Oda berdeham gugup, mendekati sang ketua OSIS yang menyorot tenang, tak terusik dengan kebisingan yang kian mengepul di belakang.

"Dia akan segera ke sana. Kau duluan saja." suruh Oda dengan ekspresi sedingin mungkin. Ia tak mau para guru melihat keadaan buruk Velia yang pastinya akan merembes pada mereka semua. Meski sedikit gerah, sang ketua tetap mengangguk dan berlalu dari kelas RPL. Ia cukup mengerti setelah melihat betapa naasnya gadis itu. Ia pun tak ingin ikut campur.

"Bersihkan badannya cepat!"

Dalam sekejap seluruh baluran tepung dan aroma amis yang melengket di anak rambut serta mukanya lenyap. Untuk pertama kalinya Oda merasa peralatan skincare teman-temannya berguna, seperti tisu basah, micellarwater dan lain-lain. Meski masih ada bercak di beberapa sisi, tapi jika hanya dilihat sekilas, tak akan ada yang menyadari bahwa gadis itu telah ditekan sedemikian rupa.

Semua seperti angin lalu bagi Velia. Bagaimana ia merasa punggung kecilnya didorong kasar, entakan puluhan sepatu yang bergema di koridor, dan ocehan merendahkan yang tak lagi berupa bisikan lirih. Seakan kemalangan yang akan menghampirinya adalah hal menyenangkan untuk dihebohkan pagi hari itu.

Kala melewati ruang UKS yang terbuka lebar, ingatan Velia melanglang buana pada kenangan manis ketika Yera berlarian sambil memangku tubuhnya. Bagaimana napas lelaki itu memburu, setetes keringat yang menetesi pipinya, dan kalimat yang sontak menjatuhkan angan bahagia yang nyaris membuat Velia melayang.

"Aku tidak ada hubungan apa-apa dengan Velia. Jangan memberi Fial informasi yang salah!"

Tatapan yang sempat berbinar kembali meredup. Velia mendecih sinis, merutuki pikirannya yang dengan bodohnya mengingat hal lawas itu lagi. Air matanya terasa habis, ia pun enggan mengeluarkan cairan yang menyesakkan nurani itu. Penolakan Geo yang sangat tiba-tiba, membuat hatinya seperti dilempar ke danau beracun. Menggerogoti perasaan tulus yang mulai merambati sanubari.

Dan ia kecewa pada siapa pun lelaki yang pernah bertahta di hatinya.

"Silakan masuk, Velia." Suara tegas seorang konselor berseragam kelabu mendaratkan lamunannya. Velia tersentak sesaat, kemudian kembali diam setelah menduduki sofa empuk yang sama sekali tak dirasakan kenyamanannya. Aroma lavender dari pengharum ruangan persegi ini menusuk indra pembau, tetapiratusan mata yang menelisik di balik kaca masih meremangkan bulu kuduk Velia.

Tak pernah ia diperhatikan senyalang ini.

Dan itu karena sesuatu yang sangat memalukan.

Velia menunduk dalam, rok abu terang diremasnya kuat kala ketakutan mulai merayapi batinnya. Kenapa ia dipanggil ke sini? Apa ia akan dikeluarkan dari sekolah? Kalau begitu, Mama mungkin akan membunuhnya.

"Minum dulu airnya." Suara setenang air pantai kembali menggugurkan ribuan pertanyaan yang meracuni pikiran Velia. Ia menoleh ke sebelah kiri, lantas menyadari sang ketua OSIS berdiri sambil mengangsurkan segelas air putih padanya. Dengan gemetar Velia menerima, walau tak kunjung ia teguk.

Ruangan kedap suara tanpa hiasan apa pun kecuali tanaman hijau yang diletakkan di tengah meja panjang, menghalanginya dari tatapan wanita berumur empat puluhan yang deru napasnya pun menyiratkan ketenangan. Denting jam bulat satu-satunya bunyi yang menenemani ketiga orang tersebut. Velia kian dilanda cemas. Apa yang akan konselor itu tanyakan? Soal berita itu? Bagaimana latar keluarga, pertemanan, dan ... Hana? Oh, ia sungguh tak mampu mengatakan apa pun kalau sampai ditanya seputar itu semua. Karena ia ... memang tak memiliki apa-apa.

[END] Dadah, Mama!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang