69 | With You

31 2 0
                                    

Gelia memarkirkan mobilnya di pelataran Tom's Music and Sound. Ia turun, menengok tajuk dari ruko tiga petak itu sambil manggut-manggut. Untuk ukuran toko alat musik, Tom's Music memiliki nuansa klasik dan berkelas.

"Kita jadi kemalaman beneran, 'kan? Kau sih, lelet sekali. Katanya aku cuma perlu menunggu tiga puluh menit, tapi buktinya? Wheek!"

Gelia mendengkus. "Yang penting aku datang."

Geo mendorong pintu dan memberi jalan keduanya untuk masuk. Geo menyapa penjaga toko yang akrab dengannya, kemudian menelusuri lorong khusus gitar. Deretan lampu terang yang terpasang membuat deretan gitar elektrik dan bass itu tampak lebih menarik. Gelia membulatkan bibir kala gitar berwarna merah muda menarik perhatiannya.

"Eh, tapi kok aku tidak tahu kau mau beli apa? Kau tidak pernah mengatakannya padaku." Geo dibuat heran sendiri. Benar juga. Kenapa dia gampang sekali mengiyakan permintaan Gelia?

Semacam pelipur lara? Tiap Gelia bersamanya, tak ada ingatan menyakitkan yang memenuhi kepalanya. Rasanya rileks, dan lumayan memacu adrenalin sebab berhadapan dengan Gelia membutuhkan kesabaran ekstra.

Gelia bungkam. "Hmm ... beli apa, ya?" Ia menyorot Geo bingung.

"Jadi kau membuatku repot begini padahal tidak tahu mau beli apa?!"

"Iiih, tunggu dulu dong! Aku baru mikir ini!"

"Waaah." Geo berkacak pinggang, terperangah untuk kesekian kalinya. "Jangan-jangan kau cuma cari alasan ya biar bisa jalan denganku?"

Gelia berkedip. "Iya."

"DIH? Katanya kau cuma mau temenan, terus ini apa?!"

"Ya benar, 'kan? Teman bakalan selalu ada dan menemani. Supaya aku tidak bosan, dan biar kau tidak kesepian." Gelia melanjutkan langkah sambil menengadah, tertarik pada pajangan gitar di bagian atas.

Geo mengikut dengan urat leher mengetat. "Darimana kau tahu kapan aku kesepian? Tidak," Kayaknya ada yang tidak benar dari omongannya. "Kenapa kau berpikir aku orang yang kesepian? Kau, 'kan, tidak mengenalku."

Napas malas Gelia terhela. "Kau itu cuma punya seupil teman yang itu-itu saja. Kau juga tidak pernah berbaur ke mahasiswa lain. Gampang sekali untuk mengenalimu, Geo. Kau terlalu mudah buat kucari tahu, jadi jangan sok misterius deh disitu!"

"Heh!" Geo menunjuk wajah Gelia kurang ajar, tapi malah bingung sendiri ingin melawan seperti apa lagi.

"Bisa tidak, sih, jangan berantem dulu malam ini? Aku capek." Gelia memberi pandangan letih, otomatis melemahkan amarah Geo. Pundak cowok itu merosot, tak lagi tegang seperti sebelumnya.

"Ya sudah." Geo juga lumayan penat hari ini, jadi dia mengalah. "Lanjutkan pilih yang kau mau gih." Gelia kelihatannya tidak berbohong, sih, Geo rasa. Cewek itu tidak menggunakan seluruh tenaganya untuk membuat Geo mencak-mencak. Balasan obrolannya juga seperti tidak niat. Walau sedikit heran, Geo membiarkan Gelia nyaman malam ini. Tak memekakkan telinganya dengan ocehan tidak penting.

Namun, perubahan rencana tiba-tiba begitu malah bikin Geo bingung. Karakter diri yang mana yang bisa dia tunjukkan ke Gelia? Selama ini mereka cuma bersiteru atas hal-hal omong kosong. Sekalinya dihadapkan kondisi dimana Gelia tak mampu bercanda, Geo jadi bingung sendiri.

Geo melihat punggung berbalut jaket jeans biru tua itu. Mungkin Gelia mengganti hoodie bercorak sapinya karena gerah, tapi perubahan kecil itu benar-benar membuat gadis itu tampak berbeda. Aura yang Gelia kuarkan ... apa, ya? Terlalu gelap, bikin Geo berpikir dua kali sebelum menjailinya. Gelia kelihatan lagi dalam mode senggol-bacok. Lagian tak bisa dipungkiri, anak Komunikasi kayak dia pasti memiliki beban tugas yang lebih banyak dari Geo. Atau itu pemikiran Geo saja?

Geo mengenyahkan pikiran nyelenehnya dan berpindah ke lorong sebelah, mengikuti Gelia yang lebih dulu berbelok. Deretan ukulele yang berderet menempel ke lantai membuat mata Gelia berbinar.

"Kecil beneran, ya?" gumamnya tidak jelas. Geo menyelipkan tangan kanan ke saku celana, memerhatikan Gelia yang membungkuk dengan netra berbinar. Ketertarikan gadis itu diambil sepenuhnya oleh gitar kecil berwarna biru muda itu. Lucu sekali, warna ukulele itu benar-benar seterang langit. Ada bola-bola awan yang memiliki mata dan senyum bibir, menarik cengiran Gelia makin lebar.

Gelia ingin menyentuh ukulele itu lebih dekat. Dia membungkuk, menggenggam bagian kunci alat musik itu, tapi ada yang menahan si ukulele, seperti ada yang menyangkut. Gelia menyatukan alis. Ia memberi tenaga lebih yang agak berlebihan, efek kesal gara-gara Revan tadi sore, dan berentet masalah teman-temannya yang tak ada habisnya. Namun, pelampiasan letih Gelia itu malah membuat gitar elektrik yang terpajang di bagian atas dinding bergoyang. Terlalu goyah hingga Geo yang mengira itu tidak akan jatuh, berakhir melangkah cepat melingkari pundak Gelia dengan lengannya dan ikut membungkuk, menyembunyikan Gelia sementara tangan kanannya menangkap gitar berat itu.

Gelia syok. Keributan yang hampir merusak beberapa alat musik itu menjadi sorot perhatian. Gelia bisa merasakan napas tersengal Geo di belakang lehernya. Gelia menengok.

"Kok....?"

"Kau suka sekali ya sama masalah? Kenapa kau tidak pernah hati-hati?" Kalimat sarkastik itu diucapkan dengan oktaf biasa, tidak membentak seperti kebiasaan Geo tiap bersama Gelia. Namun, ada getar panik di suaranya, membuat Gelia menelan saliva, diserang perasaan tidak enak.

"Kau tidak pa-pa?" Pelukan itu terlepas. Geo menatap sekujur tubuh Gelia khawatir. "Tanganmu tidak tergores?" Pertanyaan itu membawa mata Gelia turun, memegang pergelangan tangannya yang Geo raih sebelumnya. Jejak panas disana masih terasa. Gelia mengelusnya sambil menggeleng.

"Aku tidak pa-pa." Ia memutar mata ke arah lain, lumayan salah tingkah. "Memang aku seperti kau yang cemen? Aku itu cewek paling kuat di jurusan Komunikasi! Jangan anggap aku lemah, Nyet!"

"Nyet?!" Geo tersinggung. Setelah menyandarkan gitar ke etalase yang kosong, Geo mendekati Gelia. "Kau panggil aku apa tadi? Coba ulang."

Mata belo Gelia berkedip-kedip. Ia mundur. Aaah, padahal dia mengejek begitu supaya pemikiran aneh di kepalanya berhenti memutar, tapi kok malah jadi begini?

"Cuma panggilan sebagai temen! Memang aku tidak boleh memanggilmu begitu?" Bagus. Otak Gelia bekerja dengan baik hari ini. "Kalau tidak, ya sudah, aku tidak akan memanggilmu begitu lagi." Gelia melirik sepatu putihnya yang tinggal berjarak tiga puluh senti dari dinding yang diselingi gitar akustik.

"Lama-lama kau tambah melunjak, ya?" Geo benar-benar geram. "Kita memang seumuran, tapi bukannya wajar kalau kau lebih menghormatiku disaat kau baru mengenalku? Kau tidak tahu cara bersosialisasi, ya? Atau ini trikmu supaya aku jatuh padamu, begitu?"

"Ya kalau mau ngomel tuh diam saja dong! Tidak usah maju mulu! Dasar cowok cengeng!" Gelia memekik keras, kembali menarik atensi pengunjung lain, sebelum menjauh beberapa meter.

"Kau yang terlalu bar-bar! Dasar menyebalkan! Harusnya aku tidak datang ke sini tadi." Geo memandang Gelia kesal dan berlalu ke lorong selanjutnya, menjauh sampai Gelia tak dapat melihatnya.

Napas panjang Gelia merebak. Ia memegang dadanya yang berdetak tak keruan. "Huh ... hampir saja. Dia tuh apa-apaan sih? Sok ganteng begitu. Dia kira aku tidak bisa menghindar apa kalau gitar itu jatuh? Cowok modus. Dia cuma modus tuh pasti. Pasti!"

Katanya begitu. Namun, begitu Gelia keluar dari toko dan menghampiri Geo yang duduk di atas motor, Geo dibuat terheran-heran saat bayang warna putih di tas gitar yang Gelia peluk itu sama persis dengan gitar yang jatuh tadi.

"Kok kau beli gitar elektrik? Memang kau tahu cara mainnya?"

Gelia bergeming. Ia cemberut, mengeratkan pelukan pada gitar dan menghela napas.

"Tidak, 'kan? Astaga." Geo meremat rambut frustrasi. "Gitar elektrik tuh yang paling akhir dari semua alat musik yang harusnya kau beli! Kau ini memang bodoh atau polos, sih?"

Gelia mendongak lagi. "Bodoh? Kau bilang aku bodoh? HEH!" Ia maju selangkah. Celana jeans Gelia bersinggungan dengan lutut Geo. "Kau bisa mati kalau aku menggigitmu! Kau lupa yang kubilang di chat? Aku itu bisa membunuh orang. Berani sekali kau memanggilku bodoh? Kau tuh yang bego!"

Geo tak bisa menalar lagi selain tertawa paksa. "Bagus. Orang bodoh menjelekkan orang lain hal yang sama. Kentara, 'kan, siapa yang gila?"

"Aku tidak gila!"

***

[END] Dadah, Mama!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang