Dering bel pulang menggema di segala penjuru SMK Sulawesi Selatan. Lorong lantai satu dan dua tampak sepi, yang tersisa hanya puluhan kelas XII di pucuk gedung. Derap langkah tergesa siswa kelas XII membuat hening yang menyergap di tempat luas itu lenyap. Ada canda tawa, pekik kelelahan dan umpatan senang karena akhirnya les terakhir sebelum ujian telah selesai. Tinggal beberapa hari, dan ketegangan akan menyerang para siswa dengan lembaran soal yang memusingkan.
Yera melirik Velia yang memasukkan alat tulisnya lambat, sama sekali tak tertarik berdesakan dengan ratusan orang di tangga. Kemeja putih Velia lusuh, agak menguning, tapi pendar merah pekat membuat penampilannya terlihat amburadul. Apalagi, helaian rambut yang biasanya melambai halus, kini tampak lepek, keras, dan kusut di mana-mana.
Dan yang mengganggu hati Yera, Velia tak pernah tersenyum hari ini. Mau itu kekehan ringan atau sekadar binar cerah saat akan bertemu pacar. Semuanya hilang. Seakan ada hal besar yang merenggut pucuk kebahagiaan yang sejak dulu Velia idam-idamkan.
Ego Yera mulai goyah. Tungkai kakinya membeku, enggan beranjak dan memilih fokus memerhatikan gerak-gerik Velia yang sudah melangkah ke ambang pintu. Suara bising para murid tak terdengar lagi. Hanya pucuk terang matahari yang menerangi kelas ini.
Velia menunduk, menatap marmer bergerigi halus dengan kosong. Pikirannya melanglang buana. Tak ada satu pun materi yang menyusup ke otaknya hari ini. Kepala Veliablank. Ia terlalu lelah untuk sekadar memokuskan atensi pada ujian yang kian dekat.
Kejar dia, Yera. Jangan buang waktu! Nurani lelaki itu memberontak. Cengkeraman pada tali ranselnya menguat. Yera menggigit bibir gamang. Hampir saja ia melangkah dan menarik pergelangan Velia, tetapi dengung memekikkan menghentikan laju kakinya.
"Jangan menampakkan muka jelekmu lagi, dasar Jalang!"
Yera merasa jantungnya diremas kencang kala mendengar kalimatnya sendiri. Bagaimana ia bisa mengatakan hal serendah itu? Ke mana pikiran logisnya yang selalu mengutamakan perasaan orang lain dan enggan menyakiti mereka? Terutama Velia. Namun, jeritan ego Yera menghadang. Ia tak mungkin melakukan itu jika bukan Velia yang memancing. Gadis itu menyakitinya berkali-kali hingga Yera terus diguncangkan perasaan bimbang yang menusuk.
Selagi sibuk pada beragam opini di benaknya, derap langkah terdengar. Keheningan yang melingkup lantas lenyap begitu ketukan sepatu memburamkan pikirannya. Yera bangkit, melirik ke kaca jendela yang berdempetan dengan pintu, kemudianterdiam.
Velia berkedip lemah. Pandangannya terangkat begitu tubuh semampai berhenti tepat di hadapannya. Aroma citrus ini ... ia merindukannya.
Ada secercah harapan mencuat di bola mata cokelat itu. Wajah Velia terangkat sedikit, napasnya memburu kala memanggil nama yang paling sering berlalu di hatinya.
"Geo, kau sudah pulang? Bagaimana lomba—"
"Ikut denganku." Suara bass itu merendah, begitu dalam, hingga tengkuk Velia meremang gaguk. Binar hidup di retina Veliamengabur, terkikis perlahan ketika pupil Geo mengungkungnya dalam sorot dingin. Bulir keringat memupuk di rahang persegi Geo. Gurat kelelahannya membuat hati Velia luluh. Namun, sebelum Velia membuka mulut, tarikan kencang menyambar lengannya. Tanpa henti, Geo menyeret Velia dan turun tergesa.
"Ge–Geo, tunggu!" Dada Velia menyempit. Cengkeraman Geo benar-benar kuat. Telapak tangan Velia memucat karena aliran darahnya tersumbat. Nyaris pergelangan mungil itu mati rasa jika Geo tak melepas rematan begitu mereka tiba di parkiran.
"Pakai ini." Sodoran helm hitam yang tiba-tiba hampir membuat Velia terdorong ke belakang. Tubuhnya masih oleng karena empasan tadi Geo lakukan dengan kasar. Namun, seakan moodnya tengah hilang, Geo terus abai dan memundurkan motor agar keluar dari jeratan kendaraan lain.
KAMU SEDANG MEMBACA
[END] Dadah, Mama!
Teen FictionBullying, kekerasan dari Mama sendiri merusak jiwa Velia perlahan sampai dia stres hingga depresi. Satu-satunya sahabat menatap dia rendah setelah tahu Velia menyukainya, membiarkan ia tenggelam sendiri dan memilih bersandar ke sosok baru. Penghinaa...