07 | Capek

442 45 6
                                    

"Berhenti bermain-main, Yera! Kalau kau terus mendekam di kamar demi aplikasi tidak jelas itu, lebih baik kau pindah sekolah saja!" bentak Arneo sembari menunjuk-nunjuk putranya berang. Jas putih kebanggaan Arneo masih terpasang apik di tubuh tegapnya. Pulang dari rumah sakit, bukannya disuguhkan sang anak yang belajar soal Neurosains, dia malah mendapati Yera sibuk menggerayangi keyboard dan mouse komputernya. Layar hitam dengan kalimat bahasa Inggris membingungkan itu sudah menjadi santapan sehari-hari cowok itu.

"Ayolah, Yah. Jangan mulai lagi. Aku sedang tidak ada tenaga meladeni Ayah," pinta Yera tanpa mengalihkan pandangan dari layar 22 inci itu. Headphone hitam yang mendengungkan musik rock berdentum kuat di telinganya. Seakan menegaskan betapa seriusnya dia saat ini.

Memang, setelah sibuk mengejar para guru yang bertanggung jawab pada nilai ujiannya, Yera sungguh tak punya waktu dengan dunia Adapter yang masih semrawut ini. Dia jadi harus memisahkan pikirannya yang terusik dengan pertengkaran tidak berdasar Fial.

Karena ditekan tanpa memberi waktu untuk bernapas itu mengoyak batin.

"Kenapa kau meminta guru lesmu absen terus? Sudah tiga hari kau lalai dari pelajaran penting, Yera. Ayah bisa terima kalau untuk ujian sekolah, tapi ini? Apa gunanya semua ini?" Arneo mengangkat keyboard putih yang lepas dari pandangan Yera, kemudian menyentilnya kesal. Membuat salah satu item tertekan dan loading ke bagian yang lain. Merusak telak rumitnya pemrograman yang tengah Yera kerjakan.

"Ayah! Aku sampai tidak tidur mengerjakan ini, astaga! Ayah pikir gampang membuat ini? Bisa-bisanya menekan tombol sembarangan dan menghapus kerja kerasku!" Suhu tubuh Yera kian meningkat, sejalan dengan bentakan membahana yang dia arahkan tepat di depan wajah Arneo.

"Berani kau membentak Ayah? Ayah cuma mau memintamu fokus ke les dan sekolah, Yera. Bukan aplikasi tidak jelas ini! Apa ini semua? Memangnya sampah ini bisa memberimu makan, hah?!" hardik pria bernetra serupa dengan anaknya murka. Tanpa pikir panjang, tangan kekarnya melempar keyboard mahal yang Yera beli hasil tabungannya sendiri ke lantai. Kabel yang tercangkol di bokong komputer tercabut paksa dan menarik PC lebar itu terjerembab dan mati seketika.

"AYAH!" Sudah cukup. Kesabaran Yera telah habis. Seluruh usahanya benar-benar hilang sekarang. Yera menarik surai hitamnya geram. Erangan menggila begitu menyayat sanubarinya. Dia membanting kursi kayu di dekatnya hingga terpelatuk dan melepas kaki kursi tua itu. Begitu Yera melihat komputer kesayangannya yang terbaring dengan retak di beberapa bagian, geraman mengerikan kembali terdengar. Yera tepekur, menatap satu-satunya hal berharga yang dia punya dengan sorot nanar. Netra tajamnya memerah ditelan amarah. Yera benar-benar tidak bisa melakukan apa pun kini.

Debasan kasar Arneo embuskan melihat kelakuan si putra. Dia menunduk, menggeleng miris kemudian berjalan pelan sembari menenteng tas kerjanya keluar. Menyadari hawa menakutkan yang kian mengental di kamar Yera. Begitu Arneo menutup pintu, debaman keras terdengar ketika Yera membelah meja cokelat dan menjatuhkan komputer besarnya menyentuh lantai putih di bawahnya. Isakan kuat terdengar memilukan, meski tak ada air mata yang mengalir.

Padahal, Yera ingin menunjukkan hasil jerih payahnya selama ini pada Arneo. Hanya butuh beberapa kali begadang demi meluncurkan aplikasi pertamanya dan membuktikan bahwa Yera mampu membuat sesuatu yang begitu rumit dan dia rakit sejak lama.

Namun, semua hancur.

Tidak ada harapan lagi.

Apa harga diri Yera sudah habis di depan ayahnya? Dia sungguh tak punya muka membantah perkataan Arneo seperti hari-hari lalu.

Semuanya sia-sia ....

Berusaha keras menahan tangis, Yera meraih gawai abu-abu di kasur dan menekan kolom chatnya dengan Fial. Melihat apa sudah ada balasan dari gadis itu?

[END] Dadah, Mama!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang