Kaki kecil itu melemas. Pertahanan tubuhnya runtuh. Velia tak mampu menahan gejolak linu yang menghantam dadanya. Ia memutar arah, memilih berlari ke toilet dan bersembunyi di bilik tersudut. Berusaha menyamarkan raungan tak berdayanya.
Kenapa ia begitu naif? Jelas-jelas sosok tinggi itu bukan Yera. Bukan Yera-nya. Bagaimana mungkin ia berharap pria itu akan tersenyum dan mengusap rambutnya seperti dulu? Tidak ada lagi kekehan kecil. Ucapan terima kasih sebab ia sudah melakukan segala hal demi kenyamanan Yera, semua itu lenyap.
Velia menjerit dalam hening. Sungguh tak kuasa menahan segala derita yang menimpanya. Sebenarnya, salahnya di mana? Mengapa ia selalu saja bertingkah bodoh dan menusuk dirinya sendiri? Yera sudah membencinya. Lelaki terbaik yang pernah ditemuinya. Seseorang ... yang membangkitkan gairah di tengah rumitnya hidup.
Yera ... sudah membuka kunci hati yang ia pun tak tahu bahwa ada sisi itu di dalam dirinya.
Cinta.
Dan kini, setelah puas mengawang-awangi Velia dengan segudang janji manis, ke mana pertanggungjawaban cowok itu? Mana kalimat sesejuk salju yang bertekad akan selalu ada untuknya?
"Katanya—" Napas Velia tersendat-sendat. Ia menyorot dinding tak bercorak dengan tatapan linglung. "—aku bisa meminjam bahumu selama yang kumau. Kau bilang, aku bisa bersandar padamu saat aku lelah. Terus apa?"
Pandangan netra basah itu menanar.
"Sekarang aku membutuhkanmu. Lalu, kau di mana?" Kepalan mungil Velia terangkat kaku, memukul kuat dada berbalut kaus olahraga tebal yang tak mampu menghangatkan hatinya.
"Aku benar-benar ingin memelukmu...," ungkapnya sengsara. Seluruh nadi di tubuhnya bergetar tremor. Membuat aliran darah yang menyelimuti raga itu menyempit, tak mampu melakukan pekerjaan yang semestinya. Kepalanya berdentum hebat. Paru-paru Velia tegang, seakan ada bongkahan batu bergerigi yang mengimpitnya. Berusaha mematikan akal sehatnya.
"Apa tidak ada? Apa semua itu bohong?" Oktaf suaranya meningkat. Suara sengaunya terhalang desakan tangis yang terus mengalir deras. Napas pendek itu makin terputus.
"Aku cuma meminta apa yang sudah kau janjikan. Berikan padaku!" teriaknya tak mampu menahan emosi. Mata merah itu mendongak, menatap langit-langit dengan sorotan nyalang. Hatinya nyeri. Benar-benar linu. Velia sama sekali tak menyangka semua akan serumit ini. Apa ia tak berhak bahagia? Mengapa segala hal sederhana yang ia genggam terus ditarik paksa? Velia hanya ingin tersenyum, itu saja! Apa perlu melukai nuraninya sebegini jahatnya? Apa dunia tidak tahu bahwa hatinya sudah membengkak tanpa tetesan kasih sayang semenjak ia lahir ke tempat fana ini?
"Tolong peluk aku...," mohonnya serak, begitu putus asa. Seakan jika tak ada yang meraihnya, ia akan lebur. Lenyap sehancur-hancurnya.
Tengkuk yang menegang itu diturunkan perlahan, menyembunyikan wajah bersimbah derai lara ke dalam kungkungan lengannya. Tubuh kurus Velia meringkuk gemetar di belakang pintu. Mengeluarkan isak tangis penuh luka. Selama mungkin. Sampai tenaga yang tersisa benar-benar habis.
"Si babu itu kabur atau bagaimana? Disuruh ambil minum kok malah hilang?" Gerutuan kesal meluncur dari bibir yang kehilangan polesan liptint. Tena memangku tangan pongah, diikuti para dayang yang tak mau kalah memamerkan kekuasaan.
Tiga cermin oval itu segera dipenuhi wajah-wajah terawat setelah mereka membasuh wajah dari keran wastafel. Sementara Oda sibuk memainkan game balap hasil palakannya saat memergoki anak baru yang merokok di belakang sekolah. Bibir gelapnya bergerak mengikuti arah gigi yang asik mengunyah permen karet. Oda bersandar di ujung toilet, sama sekali tak berminat memerhatikan praktek makeup teman-temannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
[END] Dadah, Mama!
Teen FictionBullying, kekerasan dari Mama sendiri merusak jiwa Velia perlahan sampai dia stres hingga depresi. Satu-satunya sahabat menatap dia rendah setelah tahu Velia menyukainya, membiarkan ia tenggelam sendiri dan memilih bersandar ke sosok baru. Penghinaa...