Yera jadi sering papasan dengannya. Fial tak tahu ini direcanakan atau bukan---tidak mungkin juga sih, buat apa Yera membuntutinya?---tapi seperti peran yang cowok itu ambil, Yera selalu datang di saat Fial membutuhkan seseorang.
Saat kelas Fial berakhir jam sembilan malam, Yera juga baru keluar dari gedung fakultas kedokteran. Mereka bertatapanrefleks, dan sudah bisa Fial terka, cowok itu akan menghampirinya.
"Tunggu jemputan lagi?"
Fial menghela napas panjang. Dia tidak tertarik menjawab, karena Yera bahkan hanya terkekeh geli melihat raut kesal Fial.
"Kau sendiri? Les?" balas Fial.
"Hh-hm."
"Kalau begitu aku duluan ya." Yera pamit kemudian pergi, tak lagi ada detik yang canggung saat bersitutur dengan Fial. Keduanya sudah biasa saja. Kembali menjadi partner sekampus yang ... yah, begitu-begitu saja.
Setengah jam setelahnya, Bagas sampai. Cepat-cepat dia turun dari mobil dan meringis waktu Fial hanya menatap jemu dan memasuki jok depan.
"Maaf."
***
Fial sudah pernah bilang, 'kan? Dia tidak punya teman. Entahlah, menjadi mahasiswi bikin Fial hilang minat pada hal-hal seribet itu. Pria-pria kenalannya juga bukan anak kampus sini. Fial sengaja tidak meladeni lelaki dari tempatnya kuliah. Ribet. Mereka bisa menempel kapan saja, lebih-lebih saat Fial sedang tak ingin diganggu.
Karena itu, Fial menyayangkan semua penolakannya selama ini ketika meja bundar yang belum terisi itu hanya ada Yera, melambaikan tangan padanya manakala tak sengaja menangkap keberadaan Fial di antara kerumunan orang.
"Hei, duduk sini!"
Kenapa kita akrab? Kenapa harus kau?
Fial ingin menolak, tapi boks makan siang ini tak mendukung pelariannya. Akhir dari itu, tentu saja mesti Fial lewati dengan makan berhadapan Yera.
***
"Kau harus baik-baik ke Bagas, Fi. Jangan jual mahal begitu. Apa, sih, yang buat kau membencinya padahal kalian sudah dekat beberapa bulan? Apa coba yang kurang dari Bagas?"
Fial masih menerima ocehan Fera, karena itu, dia tetap bungkam dan mengunyah makan malamnya.
"Kau pasti tidak tahu Bagas pernah tinggal di Australia, 'kan?" Fera melirik Andra sekilas. "Dia sudah melihat banyak perempuan cantik, jadi kau tidak ada dayanya kalau dilihat dari perspektif Bagas."
"Aku angkat telepon dulu." Andra bangkit dan menjauh bersama ponsel di daun telinga. Melihat kesempatan itu, Fera memelankan suaranya. "Hei, dengar Mama."
Fial mengangkat wajah malas.
"Kau tidak tahu cara menggoda cowok begitu atau apa kek biar dia cuma melihatmu?"
"Ma!"
Buruk. Mood Fial hancur gundah gulana. Tatapan protesnya tak meluruhkan wajah tak berdosa Fera. "Why? Apa yang salah dari memancing cowok yang bakal jadi milikmu?" Fera melepas genggamannya pada sendok. "Kau lupa, ya, kenapa Mama menggunakanmu untuk hal sepenting ini? Bagas sendiri yang mau. Dia sendiri yang bicara ke Pak Yoga supaya didekatkan padamu! Kau tahu betapa senangnya Mama waktu dengar hal itu? Pak Yoga itu orang paling berpengaruh di sini! Memang kau tidak tergiur jadi pasangan laki-laki yang bakal memenuhi semua keinginanmu buat selamanya? Kau bahkan tidak perlu kerja, Fi! Pikirkan itu!"
"Dan Mama pikir aku bakal bahagia dengan cara ini?"
"Lah? Tentu saja!" Fera mengempaskan punggungnya ke sandaran kursi. Ia menatap Fial tidak percaya. "Apa yang paling penting di dunia ini selain uang?"
KAMU SEDANG MEMBACA
[END] Dadah, Mama!
Teen FictionBullying, kekerasan dari Mama sendiri merusak jiwa Velia perlahan sampai dia stres hingga depresi. Satu-satunya sahabat menatap dia rendah setelah tahu Velia menyukainya, membiarkan ia tenggelam sendiri dan memilih bersandar ke sosok baru. Penghinaa...