Kemeja katun kuning tua yang terselip ke dalam celana panjang abu-abu, jam tangan Casio G-Shock hitam yang melingkari pergelangan, serta jas lab putih yang belum sempat dilepas setelah kelas tadi pagi.
Rambut itu tak lagi cepak, kini berstylemullet yang memanjang ke belakang leher. Poni yang lama tak dipotong berjatuhan menghalau mata setajam elang itu, tapi tak digusar sebab waktu tengah mengejarnya. Tak ada kesempatan memakai kacamata. Bingkai kaca yang selalu menemani itu, untuk pertama kalinya dilepas dan dibiarkan begitu saja, demi membantu sahabat di gedung utama kampus.
"Ah, dia pasti bakal mengomel nanti," decaknya kala melirik jam tangan, kemudian tanpa menghiraukan keramaian di sekitarnya, ia berlari, melangkahkan kaki jenjangnya dan berbelok ke arah kanan.
Dia tiba. Napasnya terengah-engah. Telapak tangannya menahan beban tubuh di pintu ruang BEM. Ia sedikit menunduk, berusaha mengontrol napas yang melaju cepat, membuat helai rambut gondrongnya menutupi setengah wajah.
"Resan."
Diskusi serius Resan dan Ryan terpotong. Ketua BEM itu berbalik. Tanpa bisa dicegah, senyumannya terukir lebar.
"Yera! Kau benar-benar datang!"
"Tentu saja, kau meneleponku." Yera melangkah masuk, tak memedulikan tatapan penasaran cewek-cewek panitia OSPEK di sekelilingnya. Yera mengempaskan ransel besarnya ke kursi yang kosong, membuka jas lab-nya, menampakkan otot bisep dan dada yang membayang dari kemeja kuningnya.
"Yang mana yang mau diperbaiki?"
"Ah, yang ini." Resan sigap menuntun Yera ke dekat proyektor. Ia menjelaskan tiap detail masalah yang terjadi. Yera mengangguk-angguk. Tanpa banyak bicara, ia mengutak-atik komputer, sesekali menggerakkan kabel, juga membuka perangkat proyektor dengan obeng, dan kembali menarikan jemarinya di keyboard komputer. Begitu lincah, begitu terlatih. Seakan dia anak jurusan Teknik sekaligus IT yang menyamar jadi anak kedokteran. Ryan berdecak kagum. Di mana Resan menemukan cowok ini?
"Selesai."
"Hah? Serius?" Ryan benar-benar dibuat kagok.
Yera mengangguk, kembali melirik jam tangannya, kemudian memandang Resan. "Kurasa kau harus membawa ini ke aula sekarang. Aku akan ikut dan memasangnya, tahu-tahu ada yang erorr lagi."
"Yer...." Panggilan terharu itu membuat Yera merinding.
"Hei, jangan mulai di saat genting begini." Yera memperingatkan temannya.
"Aku benar-benar tidak tahu harus bagaimana kalau kau tidak ada!" Resan tidak peduli, ia menubruk Yera, memukul pelan punggung bidang cowok itu dengan lega.
"Hei, sudah! Kau ini benar ketua BEM, bukan, sih?" ketus Yera, tapi tak urung ikut tersenyum melihat kekonyolan yang jarang sekali Resan tunjukkan. Ryan saja dibuat speechless.
Resan menjauh, mengusap pipinya yang memerah dan merapikan peralatan yang perlu dibawa.
"Oke, kita ke sana sekarang!" pekiknya menggebu.
"Kau yakin akan ke sana dengan penampilan begitu?" Yera memiringkan kepala, geleng-geleng melihat Resan.
"Hng? Memangnya aku kenapa?"
Yera berkacak pinggang. Ia tak menjawab, tapi beralih melihat Ryan, dan keduanya berdecak-decak.
"Hei! Kenapa, sih? Memang aku kenapa?" tanya Resan tak mau diabaikan, tak menyadari penampilannya yang sudah seperti orang utan.
"Bawa proyektornya, Bro." Yera meminta bantuan Ryan, yang dituruti dengan sigap. Keduanya melangkah keluar ruangan, membuat Resan kian terheran-heran.
KAMU SEDANG MEMBACA
[END] Dadah, Mama!
Teen FictionBullying, kekerasan dari Mama sendiri merusak jiwa Velia perlahan sampai dia stres hingga depresi. Satu-satunya sahabat menatap dia rendah setelah tahu Velia menyukainya, membiarkan ia tenggelam sendiri dan memilih bersandar ke sosok baru. Penghinaa...