18 | Kopi Kita

239 37 6
                                    

BRAK!

"Apa ini? Aku pesan kopi, bukan soda! Kau tidak dengar, hah?!" Oda melempar kaleng minuman berwarna merah hingga bocor dan mengenai sepatu Velia. Sensasi dingin kala cairan gelap itu memasuki sela-sela kaus kaki meremangkan tubuhnya. Cepat-cepat Velia berjengit, menjauhi kaleng yang bengkok sebab kekuatan Oda yang terlalu besar.

"Kopinya habis, Oda. Stok baru datang minggu depan. Aku bahkan sudah mencari sampai ke semua rak kulkas. Memang tidak ada." Velia menggeleng pelan, berusaha meyakinkan gorila di hadapannya. Mood cewek besar itu memburuk. Guru Matematika yang baru saja mengajar telah mengomelinya habis-habisan. Meski kebanyakan yang membuat ulah adalah Tena dan yang lain, tetapi nama Oda yang sering disalahgunakan membuatnya menerima segala ceramah. Belum lagi, nilai hitung-hitungannya anjlok dan tak ada peningkatan. Tiga jam pelajaran terasa seperti neraka bagi gadis sok berkuasa itu, menyusutkan tanduk di kepalanya sejenak. Namun, begitu bel istirahat berbunyi, Oda meledak. Ia melampiaskan semua amarah pada Velia. Oda suruh mengipasinya, memijit, mengerjakan tugas yang belum selesai, sampai memaksa cewek itu berdesakan di kantin demi sesesap kopi penghilang dahaga.

"Kalau begitu cari!" Gemeretak gigi yang berjejer rapi ditambah pelototan menyeramkan berhasil menundukkan kepala Velia. Gadis yang menggerai rambut panjangnya dengan pita putih kecil sebagai bando itu kian meringkuk ketakutan. Manik sepekat kakaonya bergetar, apalagi pandangannya jatuh pada tubuh bongsor Oda yang tak sungkan menduduki slingbag berwarna putih gading miliknya. Dadanya mencelos, sama sekali tak rela binder kesayangannya terimpit senaas itu.

"Ca-cari di mana?" gagap Velia berbisik. Bahu mungilnya terlonjak kaget saat Oda memukul kuat meja dengan tangan gemuknya. Cewek yang selalu mengikat asal rambut lebatnya itu mengusek kening pusing. Sudut matanya menyorot Velia rendah, menimbulkan gigitan gugup di pipi dalam gadis itu.

"Di mana, kek! Kalau perlu, rampas dari anak yang beli duluan! Aku tidak mau tahu, pokoknya kau harus membawa cappuccino-ku kemari sebelum bel masuk berbunyi. Sana!" Velia langsung terjerembab menabrak meja guru kala Oda mendorong pundaknya kasar. Ia menelan ludah, sungguh tak menyangka akan ide brilian penindas di depannya. Merampok? Bagaimana bisa Velia melakukan itu pada siswa lain? Bagaimana kalau mereka malah berbalik memukulnya? Sekujur tubuhnya saja masih perih karena bekas cambukan Hana semalam.

"Tunggu apa lagi? Pergi sekarang!" tekan Oda gemas melihat gadis kurus itu masih bergeming di tempatnya. Velia tergelagap, segera berlari menuju pintu dan melewati koridor panjang yang berisi deretan kelas dua belas berbeda jurusan. Tajuk XII Seni Musik yang memang berhadapan dengan tangga tak begitu ia hiraukan. Velia terus berlari menembus lautan manusia yang heboh berdempetan menuju kantin, dan menggigit bibir kuat begitu punggungnya tergesek seragam yang lain. Ngilu menyerangnya. Namun, ia harus menahan diri.

"Eh-eh?" Velia sungguh terkejut merasakan tarikan posesif yang menarik lengan pucatnya keluar dari kerumunan. Tepat sebelum ia menuruni anak tangga pertama, langkahnya terhenti paksa. Panik mulai melandanya. Belum sempat ia menolehkan kepala, gerakan gesit sosok kokoh mengungkungnya dari puluhan cowok tambun berpakaian kuning-biru yang bisa mendorongnya kapan saja.

Raga Velia seakan lenyap dari tubuhnya. Jiwa gadis itu melompat tak keruan begitu aroma citrus dan rempah membuat penciumannya ingin menghirup lebih. Kaus hitam yang menjadi dalaman seragam putih-abu cowok itu membiusnya. Tanpa sadar Velia mencengkeram kain lembut itu saat pening menyerangnya. Tempat yang penuh membuatnya sesak. Manik bulatnya sayu, tetapisaat lengan kekar itu merengkuh pinggang kecilnya erat, kedua pupilnya langsung terbuka lebar.

"Maaf, aku tidak mau kau didorong sembarangan. Kau tidak apa-apa?" Dekapan tidak sengaja itu terlepas, mengembalikan kesadaran Velia yang sempat melayang. Gadis itu mengerjap lucu, kemudian mendongak ingin mengetahui siapa sosok maskulin yang berhasil membuatnya mabuk dalam sekejap

"Geo?" panggilnya gagap. Pundak tegangnya perlahan melemas. Velia lega yang menyelamatkannya bukan sosok yang sempat terlintas di benak. Meski ada kekecewaan terselip sebab ia mengharapkan lelaki lain.

"Tanganmu kenapa? Bisa merah begini." Velia tidak sadar masih meremat bagian perut baju Geo. Tergelagap ia melepaskan diri. Segera menyembunyikan sepasang tangan ke belakang dengan pikiran merutuk kesal. Hah ... padahal ia sudah memakai jaket ungu yang begitu besar. Velia tak memperkirakan Geo akan mendapati memar merah di jari-jari tangannya.

"Emmm, itu ... tergores waktu aku menulis. Pulpen yang kupakai ujungnya tajam, jadi, tanganku berdarah," dustanya linglung.

"Kau baik-baik saja? Kulitmu merah sekali. Mukamu juga terplester di beberapa sisi. Kau yakin tidak ada masalah?" Kerutan di kening Geo mendalam saat Velia meringis kala ia menyentuh dagunya. Perlahan, Geo melepaskan sentuhan dan beralih mengusap lembut surai lurus gadis itu.

"Aku baik. Emmm ... sebenarnya aku buru-buru. Aku pergi, ya?" elaknya cepat. Tak ingin memperpanjang obrolan yang bisa membongkar rahasianya. Meski Velia nyaman di dekat Geo, ia tetap tak bisa langsung percaya jika mengatakan yang sebenarnya. Bagaimana kalau Geo membocorkannya?

"Tunggu, kau mau ke kantin, 'kan? Ini." Geo mengangsurkan sekaleng kopi dingin dan roti bundar kismis ke telapak tangan Velia. Si cewek langsung membelalakkan mata terkejut.

"Bagaimana kau bisa dapat kopi? Tadiaku cari tidak ada," gerutunya tanpa sadar mengerucutkan bibir peach-nya imut. Rahang Geo berkedut, ingin sekali mencubit pipi tirus itu gemas.

"Aku baru saja selesai latihan di studio bawah, sekalian beli buat sekelas. Masih ada banyak di dalam, tuh. Aku bawa sekotak dari kantin." Geo melirik sejenak ke kelas.

Puk!

"Aduh!"

"Ternyata kau yang mencuri semuanya! Mati-matian aku cari di semua kulkas. Iiih, dasar!"Dengan geram Velia memukul dada bidang cowok berhidung mancung di dekatnya. Velia benar-benar kesal. Kalau Geo tak mengambil sebanyak itu, ia tak perlu menjadi bulan-bulanan Oda. Kakinya saja masih menggigil karena tumpahan soda. Ia harus menahan perih, mengingat cetusan lidi tadi malam juga mengenai telapak kakinya. Untung Velia bisa berjalan setelah mengompresnya semalaman.

"Mana aku tahu kalau kau suka kopi." Geo menangkap tinju yang memukul pelan jantungnya. Begitu lemah, tetapiberhasil menumbuhkan gemuruh bahagia di balik dadanya. Geo menunduk, menyorot Velia dalam. Berbinar.

"Aku, 'kan, sudah memberi minuman favoritku. Sebagai gantinya, apa kau mau menemaniku sepulang sekolah?" pintanya penuh harap. Genggamannya sedikit menguat walau tetap terasa lembut.

"Ke mana?" Meski setengah kesal, Velia tetap meladeni permintaan cowok bermanik kelabu itu.

"Ke suatu tempat. Aku benar-benar ingin kau ikut bersamaku. Kau bisa?"

Velia bergeming. Ia melirik cowok yang harus menunduk sedikit saat berbicara dengannya. Sebenarnya, pikirannya carut-marut. Velia terus memikirkan perkataan terakhir Hana soal perkosaan yang menimpanya. Dan karena itu, hatinya jadi berdenyut sakit. Mungkin jalan sebentar dengan Geo bukan sesuatu yang buruk.

"Baiklah. Sebelum jam enam, ya? Aku harus menyelesaikan tugasku di ruang IT," jawabnya setengah berbohong. Padahal ia terlambat pulang karena harus menyelesaikan puluhan soal milik Oda cs. Velia jadi tidak yakin Geo akan betah menunggunya.

"Call! Aku juga harus latihan sampai sore. Kutunggu di parkiran, ya?" Kerlap-kerlip penuh riang muncul di pupil Geo. Vokalis band sekolah itu mengepalkan tangan erat, menahan diri agar tidak berteriak girang. Akhirnya, Velia mau menerimanya tanpa penolakan. Yes!

"Hu'um," angguk Velia tersenyum melihat raut bahagia di air muka cowok itu. Ia merindukan tatapan penuh binar dan tawa kecil seseorang saat berbincang dengannya. Perlakuan yang sudah tak Velia dapat beberapa hari ini.

Ada debas senang meluncur dari mulutnya. Dalam hati ia bersyukur, masih ada pria baik seperti Geo yang mau mengajaknya bicara. Velia menatap pria itu dalam ketika si cowok masih sibuk berceloteh soal apa-apa saja alat musik yang bisa ia mainkan.

Tanpa sadar, Velia melupakan sejenak permasalahan yang merantai pikirannya.

***

[END] Dadah, Mama!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang