"Geo, tadi Gelia ada loh pas penutupan, tapi keluar lagi."
Ucapan salah satu staf yang sampai hafal muka Gelialah menjadi alasan Geo berlari ngos-ngosan.
"Hei, kau gila?! Kau bisa mati kalau tidak lihat jalan begini!" Tarikan posesif merampas lengan kurus Gelia. Wajah Geo memerah saking paniknya.
"Memang apa pedulimu? Lepaskan! Aku mau pulang." Gelia tak mau air mata cengengnya dilihat Geo. Tidak pantas. Terlalu memalukan.
"Kata Kak Arif kau baru datang setengah jam lalu. Masa mau pergi lagi? Ini sudah tengah malam loh, Gel. Astaga, kau ini kenapa suka sekali sih bikin aku repot?"
"Kalau begitu jangan pedulikan aku! Siapa yang suruh kau repot-repot mencariku? Tidak ada! Jadi tidak usah mencariku lagi! Aku tidak bakal datang. Tidak bakal mengganggumu lagi biar kau tidak repot mengurus aku yang kekanakan ini. Puas?!" Omelan panjang itu menjatuhkan kupluk jaket hingga raut terluka Gelia membuat Geo tercenung.
"Hei, kau menangis?"
Gelia buang muka, merapatkan topinya dan mengusap pipi kasar. "Bukan urusanmu."
"..."
Geo memandang Gelia lamat-lamat. Kemudian, ia menghela napas. Tanpa berkata apa-apa, ia menarik Gelia hingga mampu berada dalam radiusnya dan Geo dekap dengan erat.
"Kau benar-benar bodoh."
"Apaan, sih?! Lepas! Lepaskan aku, sialan!"
"Dan terakhir, aku harus menyebut satu nama ini, kalau tidak, dia bakal mengamuk dan menjambak rambutku lagi." Geo tersenyum, tampak aneh sebab matanya sembab. "Gelia, terima kasih sudah datang ke hidupku. Aku benar-benar bersyukur kau ada. Yah, walau kau cerewet dan bikin kupingku panas, sih...."
***
Sepuluh tahun kemudian...
"Dokter, pasien tiga puluh tiga mengalami drop!" Panggilan panik seorang suster menghentikan langkah sosok yang baru ingin istirahat di ruangannya. Pantofel itu terhenti tepat di depan pintu di mana tangan kekarnya mengambang, kemudian tanpa membiarkan napas keluh merebak, ia berbalik. Memokuskan atensi pada wanita berbalut seragam putih hijau itu dan berucap tegas, "Jelaskan masalahnya."
Derap langkah kaki menggema di lorong Rumah Sakit Jiwa yang berliku-liku. Dipenuhi lalu lalang perawat di daerah depan, tetapi begitu mereka berbelok menuju koridor belakang, suasana tampak suram. Mendung yang menyelimuti angkasa mempersulit penerangan temaram yang hanya mengandalkan lampu bohlam putih yang kadang berkedip lemah.
"Siapa namanya tadi?" Yera bertanya sambil mengeluarkan tangan yang menggeliat di balik saku jasnya. Cewek yang paling sering menemaninya itu terengah, kesusahan menyamakan langkah sang Dokter. Sanggulan yang mengendur sebab telah bekerja hingga sore membuat helaian pendek terjatuh menyangga pipi ovalnya. Rala meneguk ludah beberapa kali, meneteralkan napasnya kemudian menjawab sopan, "Hana, Dok."
Raut penuh wibawa itu lenyap seketika.
Hampir Rala menabrak punggung lebar Year karena berhenti tiba-tiba. Selagi ia melotot dan memegang dadanya yang berdegup kencang, rahang Yera mengeras. Getaran gigi yang beradu terdengar mengerikan bagi Rala.
Lelaki tinggi bersurai hitam itu tetap sama seperti dulu. Hanya garis wajahnya yang lebih matang serta gurat tajam yang makin terpampang di kening menunjukkan berbagai badai yang telah ia lalui. Bibir merekahnya mendesis, jemari panjangnya merogoh berbagai peralatan mini di kantungnya, kemudian memasang stetoskop ke tengah telinga. Dan tanpa memberi Rala waktu bernapas, lelaki itu sudah berjalan cepat. Mengambil langkah selebar-lebarnya hingga hampir berlari menuju tangga yang akan membawanya ke deretan lantai penuh bilik berpagar besi.
KAMU SEDANG MEMBACA
[END] Dadah, Mama!
Teen FictionBullying, kekerasan dari Mama sendiri merusak jiwa Velia perlahan sampai dia stres hingga depresi. Satu-satunya sahabat menatap dia rendah setelah tahu Velia menyukainya, membiarkan ia tenggelam sendiri dan memilih bersandar ke sosok baru. Penghinaa...