21 | Marah

234 35 0
                                    

"Cepat, Vel! Setelah itu belikan aku nasi goreng di bawah!" Tena mengetuk-ketuk sepatu bersol tingginya gusar. Karena mereka terlalu heboh sebab tak ada yang mengajar, salah satu konselor yang sedang berpatroli pun memberikan ultimatum keras dengan mengerjakan dua puluh soal esai mengenai Sejarah Indonesia. Tentu para cewek bengal itu enggan mengulik buku-buku tebal dan melongokan mata demi secuil jawaban. Alhasil, segala lara ditumpahkan pada Velia yang tak mungkin mampu menolak.

Plak!

"Duh!" Surai hitam Velia yang dikucir tinggi bergoyang kala bokong spidol diantukkan keras. Kepala cewek itu langsung berdenyut-denyut. Mati-matian ia menahan telunjuk agar tidak mengusapnya. Jangan sampai Oda melihat bekas goresan panjang di telapak tangannya. Meski sudah mengering dan warna darahnya menggelap, tetap saja, Velia tak ingin ada yang tahu mengenai keadaannya di rumah. Terlebih para penindas ini.

"Masih lama?" Dahi lebar kecokelatan Oda berkerut melihat rentetan tulisan panjang yang membuat kepalanya pening. Segera ia mengalihkan pandangan dan menatap gadis yang terlihat lebih segar dari biasanya. Bukannya ia sudah tidak punya teman yang sudi menemaninya? Oda tak melihat ada kedekatan lagi antara Velia dengan Yera. Terbukti saat Oda memukul lengan kurus Velia sebab nyaris membuatnya jatuh di lantai yang licin, cowok berkacamata itu diam saja.

"Dua soal lagi," jawab Velia merenggut. Pukulan tiba-tiba itu membuat segala pikiran yang melanglang buana terhenti begitu saja. Padahal, dari semalam, ia terus menjerit akan apa yang telah terjadi kemarin. Hatinya belum siap sama sekali, begitu juga jantung dan benaknya. Selama ini, kepala mungil itu selalu dihantui bayang-bayang kesakitan dan tangis penuh luka. Namun kini, sejak ia hendak terlelap hingga bangun di pagi harinya, cowok berbau rempah dan citrus itu terus menyusup di pikirannya. Membuat ia terkekeh pelan, kemudian memekik mendengar penembakan yang begitu tiba-tiba.

"Apa gunanya tangan kecilmu itu kalau tidak bisa bekerja cepat? Kau lupa sudah berapa lama kau duduk dengan pulpen murahanmu itu? Tiga jam! Kita semua dikurung sebelum semua tugas dikumpulkan, dan kau malah memperlambat segalanya!" Cerocosan yang jarang Oda lakukan menaburi gendang telinga Velia bak petasan mercon. Begitu mengganggu, tapi ia sengaja, demi mendapat celah soal hal terbaru yang membuat wajah pucat si Babu berseri-seri.

Namun, bukannya ekspresi kusut atau takut, Velia justru cuma manggut-manggut dan menyelesaikan paragraf terakhir sambil menggigit bibir bawahnya lalu berteriak tanpa suara.

Dasar gila! batinnya menyumpah serapah.

"Empat nasi, sepuluh gorengan, kopi kaleng lima, soda buah tujuh. Kau mau tambahkan sesuatu?" tanya Velia sambil mencatat semua pesanan di buku kecil yang tersemat di saku rok. Sengaja agar cewek-cewek nakal itu tidak membuatnya bolak-balik. Ia kapok karena pernah dilempari tahu isi telak ke wajah lelahnya, sampai ia mual sebab hidungnya terasa perih.

"Tumben kau bertanya?" kejar Oda sambil menyilangkan tangan. Kemarin-kemarin, setelah bekerja rodi dengan puluhan binder, Velia akan langsung tergopoh dan memborong makanan di kantin walau setelah itu ia harus berlarian kembali sebab Tena sengaja menarik ulur.

"Kau pasti akan melempar kaleng ke kakiku lagi kalau aku tidak membeli yang lain."

Oda terperangah.

Bagaimana bisa gadis itu mengatakan keluhan sambil menatap lurus mata besarnya?

"Pergi saja! Jangan banyak omong! Cepat!Seakan mukamu enak dilihat saja berani bicara denganku. Sana!" usir Oda misuh-misuh. Gadis bermuka tirus itu terperanjat dan waswas menyembunyikan slingbag putihnya ke kolong meja. Dengan catatan kecil dan bolpoin di tangan, ia pun berlari kecil ke luar kelas.

"Pakai matamu, Bodoh!"

Hampir saja Velia terjengkang ketika tubuh atletis yang menjulang menghadang langkahnya. Dengan gugup ia mundur beberapa langkah, kala menyadari suara bariton yang kini terasa begitu dingin di pendengarannya.

[END] Dadah, Mama!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang