34 | Harga Diri

455 42 9
                                    

Pukul tujuh lewat lima belas menit, Velia celingak-celinguk di depan studio. Ruangan seluas 4x4 meter itu tampak gelap dari luar. Tak ada cahaya merebak dari ventilasi, atau pun suara alat musik yang dimainkan.

"Sudah pergikah?" gumamnya sambil menggoyangkan tas selempang lemas. Velia mengeluarkan gawai hitamnya dan menelepon Geo. Sembari menunggu panggilannya diangkat, ia menyisir pandangan ke sudut belakang kelas sepuluh yang mulai dipadati siswa-siswi. Jaraknya cukup jauh, masuk akal karena studio pasti akan ribut meski sudah termasuk ruang kedap suara. Velia tak pernah masuk ke sana, hanya Geo yang sesekali menyempilkan soal itu kala mengobrol.

Tidak diangkat.

Pilinan bibir murung Velia mencuat sembari memandang layar ponsel yang sudah menelepon Geo berkali-kali. Namun, pesannya masih saja tak dilirik. Apa Geo sesibuk itu sampai tak ada waktu memberinya kabar?

"Eh, si Jalang ada di sini? Tumben." Suara sopran itu terdengar merendahkan. Ada derap langkah yang cukup bising. Apalagi panggilan yang terucap sontak menggelitik emosi Velia. Cepat-cepat ia berbalik. Namun, belum sempat membuka mulut, soda stroberi sudah melayang membasahi wajahnya. Velia yang tak siap langsung menjerit perih kala cairan pembakar lidah itu masuk ke bola matanya.

"Aaaakh! Ssshh...!" Ringisan ngilu Velia tak menyurutkan wajah bengal beberapa cewek bermakeup tebal itu. Logo kelas sebelas tercantum di seragam putih kelabu mereka. Dengan panik Velia mengerjapkan mata dan menghilangkan soda lengket itu dari wajahnya. Kemejanya kembali terciprati kotoran. Untung hari ini tak ada pelajaran yang begitu serius. Tinggal pakaian olahraga yang ia punya.

"Mau kalian apa, sih?!" Velia menyentak berang. Sklera yang memerah membuat tampangnya cukup mengerikan. Apalagi dengan kelopak bengkak, serta kantong mata hitam yang menggelap juga bibir sepucat mayat, Velia tak ada bedanya dengan tengkorak. Ia menegakkan punggung, menyorot juniornya dengan tatapan geram. Meski ia sering ditindas Oda cs, bukan berarti Velia akan terima dipermainkan oleh adik kelas yang bahkan tak pernah ia lihat mukanya.

"Apa lagi?" Cewek berlipcream cokelat pekat itu bersedekap, sama sekali tak goyah akan ultimatum yang Velia timbulkan. "Jauhi Geo! Hanya itu mauku. Ya, 'kan, guys?" Wina melirik tiga temannya yang manggut-manggut dalam bisu.

"Memang kau siapaberani menyuruhku begitu?" Amarah Velia tersulut. Belum cukup ia kecewa akan sikap dingin Geo, apa gadis-gadis ini juga ingin membangunkan sisi kasarnya? Velia mulai muak dengan ini semua.

Wina terpaku sejenak, tak mengira Velia akan menatapnya tajam dan berkata dengan nada mengancam. Perbedaan tinggi yang cukup kontras kian membuatnya terintimidasi. Namun, Wina segera mengedikkan tubuh dan menyorot Velia tak kalah nyalang. "Akudan semua cewek kelas sebelas, tak ada yang setuju kau pacaran sama Geo. Memang kau tak malu setelah namamu rusak gara-gara ketahuan main sama om-om? Kau masih saja kukuh menggebet Geo yang punya banyak gebetan. Tidak ada harga dirinya sekali, sih, kau ini!"

"Heh, jaga omonganmu, Adik kelas!" Velia menekankan julukan itu dengan suara bergetar. Amarahnya benar-benar mencuat ke ubun-ubun. Ia menurunkan telunjuk runcing Wina yang paling membuatnya geram dan mengempas kencang. "Kau sama sekali tidak berhak mengatur hidupku. Kau mau kelakuanmu ini kuberitahu Geo? Nasibmu akan habis kalau Geo tahu, 'kan? Lagi pula, kau menyerangku hanya saat Geo tak ada, berarti tekadmu tidak kuat. Jangan sok berkuasa di depanku!"

Setelah mengatakan itu, Velia segera melangkah menuju toilet untuk membersihkan bekas merah yang sangat mencolok di bajunya. Derap converse-nya begitu cepat, apalagi dengung desisannya membuat para murid yang Velia lalui bergidik ngeri dan segera menjauh. Tak mau terkena imbasnya.

Karena Velia sangat marah sekarang.

Sebenarnya, Geo ini penting tidak, sih, ia pertahankan?

Ia mulai bimbang pada perasaannya yang begitu memuja cowok itu.

[END] Dadah, Mama!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang