Gerimis datang. Titik-titik hujan membasahi pavingblock depan minimarket. Netra kelam Fial memandangi jalan raya yang sesekali dilalui truk dan sepeda motor. Sorot matanya sedih. Sayu memayungi wajah gadis itu. Sesaat Fial merasa tak ada yang benar dalam hidupnya. Satu tahun berlalu begitu saja, tidak ada yang spesial. Kematian Velia memberi tekanan tersendiri, selama enam bulan membuat Fial ragu akan jalan hidupnya. Perasaan bersalah sesekali menyusup masuk, menghentikan euforia yang Fial rasakan saat bersama cowok-cowok kenalannya. Alkohol dan seks menjadi pelampiasan terbaik selama ini, tapi lamakelamaan, kesenangan itu redup.
Fial terombang-ambing di hidup yang tak ada tujuannya.
Namun, ia tetap berusaha. Fial mulai serius belajar. Fial mencari fashion-nya, mencari sesuatu yang bisa membuatnya merasa hidup. Meski sulit, terlebih ketertarikannya pada Manajemen Bisnis tidak bisa dibilang suka, Fial tetap bertahan. Melakukan rutinitasnya ke kampus tiap ada kelas, pulang ke rumah, mengerjakan tugas, dan sesekali bermain dengan teman lelakinya di saat suntuk.
Hidup Fial mulai tertata, tapi kesepakatan yang Fera dan Andra buat amat merusak ketenangan yang susah payah Fial pertahankan.
Kenapa mereka tidak pernah peduli perasaannya? Kenapa hanya bisnis dan materi yang mereka prioritaskan?
Apa Fial tak pantas diperhatikan?
"Mi-mu mengembang."
Ia berkedip, meringis begitu sadar waktu merebus mi-nya sudah lewat tiga menit. Fial segera meniriskan itu dan membawanya ke meja panjang yang merapat ke kaca minimarket. Dia tidak jadi duduk di luar, meski ada payung raksasa, kursi dan meja di sana tetap basah.
Fial tengah menarik kursi dari bawah meja ketika Yera bicara.
"Jadi," Cowok itu menahan omongannya, fokus menaruh cup di meja dan menjatuhkan ransel yang barusan diambil dari parkiran. Fial menunggu lanjutan Yera.
"Aku tidak pernah tahu kau suka makan sendirian di tempat semacam ini."
Yera mungkin berujar basa-basi, tapi kenapa Fial merasa disindir?
Hati Fial sakit mengingat fakta bahwa dia terlalu sering mengabaikan Yera waktu mereka pacaran. Fial lebih suka menghabiskan waktu dengan lelaki lain, karena mereka bisa membuatnya senang, berfoya-foya, sementara Yera hanya suka mengajaknya ke toko buku.
Fial menetralkan suaranya yang serak. "Aku memang sering begini, kau tidak tahu karena aku tidak pernah cerita."
Fial merutuk dalam hati. Apa itu terlalu kasar?
"Benar juga." Yera justru mengangguk santai dan mengaduk mi karinya. "Kau jarang cerita."
Kenapa tiap obrolan yang mereka bahas selalu berakhir canggung, sih? Fial mulai gerah. Daripada bicara kaku, mending dia makan. Airconditioner di sini juga dingin, bikin Fial makin menggigil.
Fial menyuap mi dengan garpu. Satu suapan, dua, tiga, empat. Pedas mulai dirasakannya. Fial membuka kaleng soda, sempat kesusahan, lalu menenggaknya cepat.
Sesekali Fial melempar pandang ke Yera, tapi sama sepertinya, cowok itu juga melahap makanannya dalam diam. Mungkin dia juga kelaparan.
Fial yang lebih dulu menghabiskan mi-nya. Ia melirik Yera yang masih makan, kemudian cepat-cepat membuka satu pil obat maag, menelannya dan meminum air, tapi tersedak dan batuk-batuk sesudahnya.
Yera terinterupsi. Ia kelihatan panik, tapi kala telapak tangannya ia bawa menepuk punggung terbuka Fial, Fial terhenyak.
"Kau tidak pa-pa?"
"Hng—tidak pa-pa." Fial cegukan, tapi tetap menjauh dari sentuhan Yera. Fial mengumpat dalam hati. Kenapa dia seperti cewek bodoh yang tak pernah bersentuhan dengan cowok, sih? Ada apa dengannya malam ini?
KAMU SEDANG MEMBACA
[END] Dadah, Mama!
Teen FictionBullying, kekerasan dari Mama sendiri merusak jiwa Velia perlahan sampai dia stres hingga depresi. Satu-satunya sahabat menatap dia rendah setelah tahu Velia menyukainya, membiarkan ia tenggelam sendiri dan memilih bersandar ke sosok baru. Penghinaa...