"Kau gila?! Mau mati, hah?!" Helm dilepas kasar, Geo turun dari motor, melangkah tergesa ke mobil Gelia.
"Hmm ... sedikit? Mati bukan ide yang buruk." Gelia mengangguk-angguk, tak memedulikan delikan Geo.
"Tidak jelas! Kenapa kau menghadang tiba-tiba begini? Aku tidak ada urusan denganmu." Geo mengalihkan wajah kala Gelia mendongak, tak mau mata bengkaknya cewek itu dapati.
"Siapa bilang?" Gelia merenggut saat fokus Geo tidak tertuju padanya. "Hei, lihat aku!" Ia menarik kaus putih Geo kurang ajar.
"Kalau aku mau, sekarang juga kita bisa punya urusan bareng kok." Ia kembali cengengesan.
Geo mengurut dahi pusing. Ia berpikir keras. "Maksudnya kau berulah begini karena soal motor waktu itu? Apa yang kau mau? Katakan saja cepat. Aku tidak ada tenaga meladenimu."
"Ow, bicaramu cepat juga." Gelia berkedip-kedip, memandangi bibir basah Geo.
"Hei! Lihat apa kau?!"
Dibentak begitu, dia malah semakin senang. Geo tidak tahu saja, kalau Gelia mengambil hati perkataannya, dia bisa mati dikepung anak buah cewek itu.
"Temenan denganku. Kau mau? Ah, tidak-tidak. Aku tidak butuh persetujuanmu." Ia bicara sendiri. Geo menatapnya dengan sorot judging-you-so-hard. "Mulai malam ini, kau jadi temanku, oke?"
Geo kehabisan kata.
"Kau sakit, ya?" Geo berkacak pinggang. Jaket hitamnya berkerut di tekan telapak tangan.
"No-no-no." Gelia geleng-geleng. Ia memegangi tepi pintu dengan kesepuluh jari, mendongak dan menatap Geo lugu. Senyum kekanakannya tak pernah luntur. "Mungkin ... gila sedikit?"
Gelia ngakak waktu Geo menatap dengan maksud jadi-kau-sadar?
"Anyway, tak usah kaget sama yang terjadi barusan, kau akan melihatnya lagi besok-besok." Cewek itu mengulurkan tangan, tapi karena susah, ia kelimpungan sendiri kala membuka pintu mobil. Geo menatap kian marah kala pahanya terbentur pintu sampai ia harus mundur. Gelia kini berdiri di hadapannya, melipat tangan dengan pakaian full hitam; jeans, baju dalam gelap, kardigan kulit dengan warna yang sama, juga sepatu boots andalannya.
Geo menatap uluran tangan pucat itu.
"Siapa namamu? Nih, balas dong jabattanganku. Kau kejam sekali."
Geo memandang wajah mungil Gelia bergantian dengan pergelangan kurus cewek itu. Ia benar-benar speechless.
"Gila." Gelia berhenti menggoyangkan tangan kala kata itu terucap. Ia menatap Geo tepat ke mata.
"Aku pasti kecapekan sampai mimpi seburuk ini." Geo memegang kepalanya, memukulnya beberapa kali kemudian berjalan ke arah motor. Ia menunggangi YamahaBlue itu, memakai helm, menstater gas, kemudian melaju dengan asap yang mengenai wajah Gelia.
Uluran itu masih tergantung di udara.
"Hah?" Mulut Gelia terbuka begitu saja.
"Dia ... dia baru saja menolakku? Dia---gila ya?!"
***
Fial tak menyangka adegan semacam ini akan terjadi dalam hidupnya. Kalau dengan cowok lain, ia mungkin akan maklum, tapi kenapa harus dia? Kenapa harus mantan yang paling lama pacaran dengannya yang harus menjadi hero untuk kedua kalinya?
Fial menyelesaikan kuliah terakhirnya hari ini, Akuntansi Biaya. Koridor kampus lengang saat pukul empat sore begini. Langit sedikit mendung, bikin terik panas yang biasanya menyiram koridor menghilang sementara.
KAMU SEDANG MEMBACA
[END] Dadah, Mama!
Teen FictionBullying, kekerasan dari Mama sendiri merusak jiwa Velia perlahan sampai dia stres hingga depresi. Satu-satunya sahabat menatap dia rendah setelah tahu Velia menyukainya, membiarkan ia tenggelam sendiri dan memilih bersandar ke sosok baru. Penghinaa...