22 | Dia

355 37 5
                                    

"Ma, aku kemarin pergi ke pantai---"

"Cepat habiskan makananmu supaya aku bisa mengunci pintu. Aku buru-buru." Bibir nude Hana menyesap teh hijau yang masih mengepulkan asap. Wanita itu bahkan enggan duduk di meja makan. Mata senada anaknya memaku fokus ke dalam tablet yang memaparkan lembaran statistik data perusahaan yang akan ia gunakan dalam presentasi. Velia tak berani bertanya mengapa polesan makeup Mama kian menipis? Tak ada corak apa pun di kelopak mata. Bibir yang disapu warna gelap mempersuram penampilannya.

Seperti seseorang yang sedang banyak pikiran.

Sang putri pun hanya mampu membungkam dengan kelu. Sudah beberapa hari Hana menghindarinya, dan selama itu, nyaris tak ada percakapan klise yang mengisi hari-hari Velia. Cuma makanan yang selalu tersedia, tetapi berhadapan dengan Hana di pagi hari saja adalah hal langka yang makin sulit ia dapatkan.

Mamanya seakan dikejar waktu. Namun, Velia tak mampu mempertanyakan. Setiap ia berusaha mencari topik pembicaraan, Hana langsung memotong dengan perintah atau mengabaikannya sama sekali. Menimbulkan jejak rindu yang mulai menapaki nurani Velia.

Hanya ludah pahit yang mampu ia telan susah payah begitu Hana memasuki mobil hitam mengilap. Bedanya, Velia tak melihat adegan cipika-cipiki atau sekadar senyum manis terpatri. Ekspresi mamanya sedatar tanah yang tengah ia injak, dengan binar gairah yang kian meredup.

Dengan lemas, Velia melangkahkan kaki menuju halte bus sebelum motor sport biru mengentak lamunannya. Perlahan, bibir ranum yang menciut itu berubah menjadi lengkung penuh tawa kala keduanya melaju menuju sekolah yang tiga puluh menit lagi akan ditutup gerbangnya.

Dan pelukan erat penuh kesedihan yang mulai menjadi kebiasaannya. Manik cokelat Velia terpejam, menghidu aroma citrus yang menguar dari jaket putih training itu. Geo pun tak berceloteh panjang lebar. Air muka kekasihnya sudah lebih dari cukup untuk membuatnya mengerti.

Membiarkan Velia terus dihujani rasa nyaman tak terkira. Apalagi, jemari kokoh dan panjang itu tak henti mengelus punggung tangannya seakan membisikkan, 'semua pasti baik-baik saja.' Mengirimkan siraman es kristal yang mengikis jarak dan rasa canggung yang cukup mengental. Mungkin ... tak lama lagi, Velia bisa mencintai Geo sepenuhnya.

Seperti Yera dulu.

Sontak Velia mengeratkan pelukan kala bayangan tubuh atletis itu membayang kembali. Lupakan dia, Velia!

***

Apa ini cuma perasaannya? Semenjak Geo pamit ke studio yang terpisah dari gedung kelas, semua mata refleks tertuju padanya. Bisik menjengkelkan orang-orang mulai merambati pikiran Velia. Ada apa? Apa ia melakukan sesuatu yang salah? Mungkinkah....

"Heh, sini kau!" Tarikan kencang di pergelangan tangan dan langkah lebar Tena membuat Velia tergopoh menanjaki anak tangga terburu-buru. Pupil bulatnya melebar melihat para siswi berpakaian ketat berdiri mengerumuninya. Dalam satu empasan kasar, tubuh Velia langsung tersungkur di tengah kelas dengan naas. Ringisan ngilu terdengar begitu ia merasakan marmer bergerigi menghunjamnya bertubi-tubi. Goresan memanjang di jemari Velia langsung berdenyut linu, tak kuat menahan serangan tiba-tiba.

"Gosip itu benar? Kau pacaran sama vokalis sekolah, hah?!" Tena sungguh ditelan amarah. Pekik kesakitan merongrong kala kuku berkuteks merahnya menarik paksa rambut panjang Velia. Sementara muka memerah Velia didongakkan paksa, dimana retina berlensa aqua Tena tengah menyorotnya geram.

"Bagaimana caranya kau mendekati Geo? Apa kau tidak tahu kalau aku dan Tena sedang sibuk mengejarnya? Bagaimana kau bisa berani menikung kita berdua? Kau mau mati?" Cewek yang paling berani menunjukkan lekuk tubuhnya di sekolah itu bertanya berang. Sebenarnya, siapa cewek jelek ini? Kenapa dia berhasil merayapi deretan cowok yang harusnya menjadi koleksi Fial? Tidak cukup ia dibentak Yera karena berani mengucap suka, sekarang ia bahkan berhasil memacari salah satu pria yang paling terkenal karena kemampuan vokalnya? Tentu saja, paras dan tubuh berotot Geo tak perlu diragukan. Itu sebabnya, semua orang tercengang.

"A-aku tidak tahu soal itu. Ma-af!" Tersendat-sendat Velia bicara. Gawat! Tena benar-benar ingin merontokkan rambutnya. Pembelaan Velia hanya membuat tarikan itu makin kencang. Kepala kecilnya bergetar brutal. Pening tak berperi menyerangnya dengan kuat.

"Harusnya kau cari tahu dulu baru nekat mendekatinya! Katakan, kenapa dia mau meladenimu? Kau kasih tubuhmu lagi? Heh, segitu inginnya kau dipacari sampai menjajakan badan kurusmu ini?" Semua mulut tertutup mendengar lontaran tak seronok yang Tena ucapkan dengan lantang. Menghentikan langkah sepatu berlogo Fila yang berhenti di ambang pintu.

Rahang Yera mengeras. Batang hidungnya bergetar melihat penindasan yang kembali Velia dapatkan. Namun, kala mata hitamnya bertubrukan dengan Fial, Yera segera membuang muka dan berjalan ke bangkunya. Ia harus tepat pada pendiriannya! Tak ada cewek yang baik! Memercayai mereka hanya akan mengirim berton-ton luka di hati. Yera tak mau ikut campur lagi!

"Kau semurah itu, ya? Berapa kali kau tidur dengan dia sampai mau mengantarmu? Jawab!"

"HEI! Apa yang kau lakukan?"

Semua atensi tertuju pada lelaki yang paling sering dibicarakan itu. Tatapan kagum penuh puja mengikuti langkah lebarnya menghampiri Velia yang bergetar takut. Kotak bekal bening berisi roti lapis Geo geletakkan di meja guru dan menunduk sembari mengulurkan tangan.

"Kau tidak apa-apa?" Suara bass yang menyiratkan cemas dan murka membungkam mulut Tena. Dengan linglung, Velia membiarkan pundak mungilnya diangkat lembut. Pijakan kakinya melemah sebab pening hebat yang masih menerjang. Dengan panik, Geo menyorot dalam netra segelap cokelat itu.

Aku takut! Pekikan putus asa seakan berteriak lantang kala Geo menelisik perasaan Velia. Pipi lesung cowok itu berkedut kencang. Ribuan amarah merambat dari dada dan mengalir cepat ke pupil tajamnya. Geo berbalik, menyorot satu per satu cewek yang tak mampu mengalihkan pandangan.

"Apa-apaan kalian, hah?! Siapa kalian sampai berani menindas Velia seenaknya? Aku tidak tahumasih ada orang-orang tak punya otak seperti kalian. Dan apa kau bilang tadi?" Lutut Tena langsung lemas begitu tatapan setajam belati menusuknya.

"Kau bertanya berapa kali Velia tidur denganku? Kenapa kau mau tahu soal itu? Bukankah pertanyaan seperti itu hanya diucapkan orang tak bermoral? Kau tidak malu, memang?" balas Geo telak. Tena langsung menunduk gugup.

"Kau bersamaku saja dulu. Banyak serangga di sini." Sindiran keras menampar semua wajah berbedak tebal yang memucat pasi. Velia mengangguk kaku. Kepalanya benar-benar memanas. Rasanya ia akan pingsan saking perihnya tarikan kencang tadi. Kalau Geo tak memapahnya, pasti Velia akan ambruk tanpa ada yang sudi menolong.

"Tidak ada akal yang sehat di sini. Untuk apa kau berlama-lama dengan orang tak punya hati seperti mereka?" Geo menekan tiap kosakata yang terucap begitu melewati bangku Yera di mana ia tengah pura-pura sibuk membaca. Wajah berkacamata itu melirik deretan kata di hadapannya dengan tangan mengepal kuat. Berani sekali cowok itu menyindirnya!

Sekuat apa pun egonya menjulang, Yera tetap tak mampu menahan manik gelapnya berputar ke arah gadis yang meremat tremor jaket besar Geo. Mata Yera menanar melihat bagaimana Velia tak segan menyembunyikan segala ketakutannya di dalam dekapan lelaki itu.

Lelaki yang lain.

Padahal, waktu itu, Yera yang menarik tubuh mungil itu dan merasakan bagaimana kaus dan dadanya basah dipenuhi air mata Velia.

Kini, kenapa bukan dia?

Yera kian dihantam kenyataan pahit.

Ia mulai gamang dengan pendirian yang telah membuatnya membentak kasar gadis yang pernah menatapnya berlinang karena cemas setengah mati.

Yera mulai sangsi, apa keputusannya menyuruh Velia enyah dari hidupnya sudah benar?

Apa sebenarnya ... bukan Velia, tapi justru Yera yang telah jatuh pada pesona sosok rapuh itu?

Yera hanya mampu tergugu kala menyadari hal terpenting dalam hidupnya.

Penyesalan yang sangat terlambat.

Tena langsung berteriak kaget begitu meja kayu itu dihantam tinju Yera yang memerah murka.

Dasar bodoh!

***

[END] Dadah, Mama!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang