32 | Pekat

282 34 0
                                    

Geo kian disibukkan dengan latihan bandnya. Meski Velia tak terlalu mengerti soal lomba apa saja yang akan Geo ikuti, ia tetap maklum. Tidak protes begitu Geo tak bisa mengantarnya ke mana-mana seperti dulu. Dua minggu Velia lalui seperti angin, diselingi entakan kasar dari Oda dan Tena, seliweran gosip yang masih merajam pendengaran, dan sikap ketus Yera yang kian merajalela. Lambat laun Velia mulai bisa menyesuaikan diri dengan semua tekanan itu.

Perlahan, ia kembali tenang, tak terlalu memikirkan soal guncangan hebat yang ia alami selama ini. Mungkin karena Hana tak mengangkat tangan padanya lagi. Mama teramat sibuk, seperti robot yang keluar untuk bekerja, dan pulang supaya bisa kembali menekuni tabletnya. Hana menganggap Velia tak ada, sepertinya. Meski begitu, Velia tetap senang karena perhatian kecilnya tak ditolak sekeras dulu.

Yah, mungkin, keinginan terbesarnya bisa Velia gapai sebentar lagi.

Velia bersenandung pelan sambil melangkah menuju minimarket di sebelah halte. Sudah jam tujuh malam, langit tampak lebih gelap dari biasanya. Gumpalan bintang tak menunjukkan diri, bersembunyi di balik awan-awan hitam yang mengembung seperti tabung. Langkahnya terasa ringan, dengan dada berbunga-bunga karena semakin hari, Velia kian dilambungkan oleh perasaan asing tiap melihat Geo. Sepertinya, ia sudah jatuh dalam pesona lelaki itu.

Kekasihnya.

Setelah membeli perlengkapan nasi goreng dan beberapa kaleng cappuccino, Velia mendorong pintu minimarket dan kembali berjalan pelan. Hendak melewati halte yang daritadi ada seorang lelaki berbadan besar yang duduk sambil merokok.

Velia meliriknya sejenak, kemudian refleks mengangguk sopan dan melaluinya. Namun, setelah berada jauh dari halte, ia justru merasa punggungnya dilubangi.

Segera Velia berbalik dengan alis menggelombang, dan ia berhasil menangkap jejak pria itu saat memutar leher panik.

Ia diperhatikan.

Bulu kuduk Velia sontak meremang. Segera ia mempercepat langkah, menyusuri jalan setelah berbelok ke blok daerahnya. Remang lampu jalan yang redup tak begitu membantu penerangan. Sekali lagi, Velia menoleh. Tidak mungkin, 'kan, ia akan diikuti? Siapa tahu dia hanya orang gila atau semacamnya.

"Astaga!" Keberuntungan seakan enggan bersamanya. Velia melihatdengan mata telanjang, lelaki berotot, berambut gondrongdengan kulit segelap arang tengah berjalan santai tak jauh di belakangnya. Dengan pandangan lurus, seakan meneliti seluruh badan Velia dari kaki hingga pucuk rambut.

Lari! Lari! Lari!

Sekuat tenaga Velia melangkahkan converse hitamnya panik. Tas genggam gadis itu terayun dalam pelukan, kuciran rambutnya bergoyang cepat mengikuti derap kaki yang kian cepat. Sesekali mata itu terpejam rapat, jantungnya berdegup kencang. Napas panas Velia tersengal nyaris putus. Namun, ia tak mampu berhenti.

Tanpa melirik kanan kiri, Velia langsung menyeberang, melewati pagar rumah dan menubruk pintu kayu yang menjulang hingga terdengar gebrakan keras.

Kala ia melongokan kepala, lelaki itu sudah lenyap.

"Hampir saja," desahnya sambil menelan ludah susah payah. Velia menggenggam knop pintu, hampir masuk sebelum menyadari sesuatu.

Kendaraan yang terparkir ini bukan punya Hana, tapimobil hitam yang pernah Velia lihat beberapa kali.

Jantungnya kembali bertalu-talu. Secepat kilat ia mendorong kayu jati itu ke dalam, kemudian tercenung dengan mata membelalak.

"Takut ... darah...!" Velia tertegun. Di depannya, ia melihat Hana duduk meringkuk di tengah sofa dengan sosok berkemeja putih tengah merangkulnya erat.

"Ma?" panggilnya dengan suara tercekat. Namun, pria berjambang tipis yang berbalik. Keningnya kian berkerut masai. Tatapan kalut Velia berganti menjadi pandangan setajam belati kala melihat lelaki itu tak sungkan mendekap Mama tepat di hadapannya.

"Sebentar, dimana kamarnya?" Baru saja Velia hendak mengomel, omongannya langsung dipotong. Velia menunjuk salah satu kamar yang paling dekat, kemudian berangsur membukanya. Membiarkan Hana dibaringkan dengan hati-hati. Ia menatap Mama khawatir. Bibir itu masih bergetar tremor. Perlahan suara Hana memelan sebelum kelopaknya tertutup dengan dahi berkerut-kerut.

Seakan mengerti keheranan Velia, pria itu segera keluar dan langsung mengenalkan dirinya. "Aku Ersa, teman kerjanya Hana. Maaf belum sempat menyapamu selama ini." Suara dalam penuh wibawa merebak. Namun, pandangan Velia masih memicing curiga. Seakan ada berton-ton pertanyaan yang siap diluapkan ke lelaki yang lancang mendekati mamanya.

"Mama kenapa?" Velia berusaha mengenyahkan sikap posesifnya. Bukan itu yang terpenting sekarang.

"Dia drop lagi. Apa kau pernah lihat dia teriak-teriak soal darah atau semacamnya?" Ersa menumpu kedua tangan ke lutut berbalut celana hitamnya. Ia menyorot Velia di sofa seberang, tampak tak terusik dengan pandangan curiga yang terang-terangan gadis itu hunuskan.

"Ya ... pernah." Velia meringis kala ingatan itu kembali datang. Saat Hana mencakar sendiri lengannya hingga berdarah, teriakan kesakitan, tangisan mamanya.... Velia sungguh tak ingin mengingat itu lagi.

"Maaf memberitahumu soal ini, tapi keadaan Hana sudah terlalu mengkhawatirkan." Ersa membuka tas kerjanya dan mengangsurkan sebuah foto yang gelap, samar-samar, seakan itu adalah gambar yang diambil secara diam-diam. Gemetar Velia mengambilnya.

"Waktu mengalami penyiksaan dulu, para bajingan itu sengaja merekamnya. Aku baru tahu saat ada yang mengirim paket berisi foto itu beberapa bulan lalu." Ersa menahan napas. "Padahal Hana sudah tidak diganggu selama ini, tapi tiba-tiba saja, mereka kembali dan mengirimkan paket-paket ini setiap waktu. Sayang, aku telat membuangnya hari ini. Dan seperti yang kau duga, Hana langsung brutal waktu melihatnya."

Penjelasan Ersa seperti kaset rusak di kepala Velia. Perkataan itu seakan mendongengkan foto yang berada di genggamannya. Gambar di mana Mamaterikat kencang di sebuah ruangan kotor, semacam gudang, dan tiga orang berbadan besar mengerubunginya seperti serigala.

"Ya ampun, Ma...," tangis Velia meluruh. Ia seakan bisa merasakan ketakutan yang merenggut nurani Hana. Betapa takutnya Hana saat mengalami penindasan yang Velia sendiri tak mampu membayangkan. Bagaimana kalauMama meninggal? Bahkan setelah melalui hal semengerikan itu, Hana tetap kukuh membesarkannya hingga tujuh belas tahun.

Dan trauma Mama masih melekat setelah Velia kira semua sudah baik-baik saja.

"Apa yang harus kulakukan agar mereka berhenti mengganggu Mama?" Pertanyaan itu langsung terlontar tegas. Suara Velia menyayat, begitu tak sanggup memikirkan segala penderitaan Hana di masa lampau. Rahang tirusnya mengetat kala menyorot Ersa yang memasang tampang prihatin. Lelaki itu menggeleng miris. "Aku sudah melapor polisi sejak berbulan-bulan lalu, tapi nihil. Mereka terlalu pandai mengatur siasat sampaisulit dilacak. Lagi pula, isi paketnya hanya foto yang tak berbahaya. Makanya mereka tak mampu bertindak lebih jauh."

"Tapi Mama ketakutan!" sentaknya berang. Ersa sedikit terkejut begitu Velia bangkit dan melempar foto itu kasar. Tatapan garang diarahkan nyalang. "Aku yang melihat betapa tersiksanya dia gara-gara foto ini. Dia bahkan berteriak putus asa di depan mataku!" Velia meremas rambutnya kencang. Tangan pucatnya mengusap wajah gusar. Gigi Velia bergemelatuk marah. Bagaimana ini? Belum hilang keterkejutannya akan seseorang yang mengikuti, Velia harus dihadapkan pada kenyataan yang lebih buruk.

Dan itu semua gara-gara dirinya.

Karena ia lahir, Mama tak bisa lepas dari jeratan masa lalu yang mengerikan.

Malam itu, Velia menghabiskan malam sambil terduduk di depan kamar Hana. Terisak-isak, seiring ketakutan merayapi sekujur tubuh. Ia enggan meninggalkan Mama barang sedetik saja.

Setelah beberapa hari senyumnya terumbar riang, untuk pertama kalinya, ia menangis kembali. Dengan penyesalan tak berperi yang mempertanyakan kehadirannya di dunia.

Haruskah ia menyerah saja?

Karena kebahagiaannya tampak sangat tak adil bagi orang-orang yang dicintainya.

"Mama...."

***

[END] Dadah, Mama!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang