02 | Tidak apa-apa

1.4K 93 6
                                    

"Yera, kau sudah sembuh?" cetus Velia dengan air muka berbinar senang. Meski cewek-cewek di kelasnya banyak yang membenci, setidaknya para cowok tidak memperlakukan sama buruknya. Salah satunya Yera, pemuda bergaris pipi persegi yang terkenal asyik dan mudah bergaul. Bibir merah tuanya tampak lebih kering dari biasanya. Maklum, ia baru pulang dari rumah sakit.

"Hu'um. Bisa tolong pinjam buku Pemrograman Dekstopmu? Aku ketinggalan banyak pelajaran penting," keluh Yera sambil memasukkan ranselnya ke dalam laci kemudian menyandarkan tubuh lemas. Gurat tidak nyaman yang terpancar jelas menimbulkan getaran kekhawatiran di rona Velia.

Gadis itu menjepit sedikit helai rambut ke belakang agar memudahkan dalam pelajaran Web Dinamis yang membutuhkan konsentrasi tinggi, sekaligus menampakkan rahang oval dan lesung pipi di muka seputih susunya. Velia mengangguk sembari mendudukkan tubuh berhadapan dengan Yera.

"Berikan saja bukumu, biar aku tuliskan pas jam istirahat nanti. Kau mau siap-siap untuk ujian ulang, 'kan?" saran Velia dengan iris menyipit begitu bibir merah mudanya tertarik manis.

Ah, Yera akui, gadis ini cukup cantik. Tiap bercengkrama dengannya, Velia juga tak luput memberikan senyum indah. Meski samar-samar Yera tahu bahwa pertemanannya dengan yang lain cukup buruk.

Kenapa Yera jadi memikirkan Velia?

"Kau yakin? Mata pelajaran itu isinya, 'kan tugas ribet semua. Kau mungkin butuh tiga jam untuk menyelesaikannya," cegah Yera ragu.

"Tidak akan selama itu. Aku sudah mengerjakannya sebelum ini, 'kan? Jadi aku tinggal membuat contoh lain dan menyalinnya ke buku tugasmu. Gampang!" celoteh Velia sambil mengibaskan telapak tangan, berusaha menampik keraguan di benak Yera. Cowok itu akhirnya mengangguk meski ekspresi tak enak muncul di netra sayunya.

"Terima kasih. Kau selalu saja membantuku," ungkap Yera tulus setelah Velia mengambil buku yang lebih cocok disebut binder seratus lembar itu. Velia menggelengkan kepala ringan sementara pupil cokelatnya menyisir lembar demi lembar buku cowok itu.

"Tulisan tanganmu masih saja serapi ini. Bagaimana, sih, caranya?" tanyanya penuh kekaguman. Bibir mengerucut Velia balaskan melihat respon Yera yang hanya mengedikkan bahu, enggan menjawab. Meski begitu, dia terkekeh mendengar gerutuan Velia yang mengatainya 'cowok pintar tapi cuek', panggilan yang sudah melekat setiap mereka bertutur kata.

Setelah membuat Yera tertawa, Velia menutup binder bersampul bendera Inggris itu kemudian menatapnya lebih serius.

"Lalu, apa kabar denganmu?" pancing Velia dengan oktaf setenang mungkin. Soalnya, pembahasan berat seperti ini mudah menaikkan emosi Yera. Velia juga tidak ingin itu terjadi, mengingat sahabatnya ini baru saja sembuh dari tifus.

Selayak dugaan Velia, binar di muka rupawan itu lenyap seketika. Yera menarik dan mengembuskan napas panjang, berusaha menarik beban yang mengimpit dada.

"Masih sama. Ayah tidak berhenti membahas soal kedokteran waktu mengunjungiku ke rumah sakit."

Velia menggoyangkan pipi dalamnya tidak suka. Pundak mungilnya dia condongkan sedikit ke depan agar Yera menyadari perhatian yang dia berikan.

"Kau sudah bicara berdua dengan ayahmukah?" tanya Velia tidak yakin.

Yera menggeleng. Dia mengalihkan pandang begitu mendapati iris gemerlap Velia menyorotnya lembut, penuh kepedulian. Hal yang jarang Yera dapatkan.

Gadis ini ... sekhawatir itu padanya.

"Itu dia masalahnya. Kalau kalian jarang komunikasi, jelas akan ada bentrokan seperti sekarang, tapi aku mengerti. Tidak mudah memulai pembicaraan dengan orang yang tidak dekat dengan kita." Velia kembali menyatukan atensi yang sempat melanglang buana pada sosok ayah Yera.

[END] Dadah, Mama!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang