"Sebentar, Arnold." Arneo menunjuk ponsel sebagai tanda akan keluar dari ruangan dokter spesialis tulang dan menerima telepon Arnold. Rekan di depan Neo mengangguk, ia pun segera keluar dan mengarah ke koridor yang sepi.
"Kau baru selesai operasi atau baru mau masuk?" Arnold menebak dari langkah kaki Neo yang terburu-buru.
"Tidak, aku habis menemui Dokter Ortopedi. Kau bilang Yera kenapa tadi?" Spesialis bedah saraf itu bertanya runtut.
"Yah, kemarin ada korban kecelakaan, langsung meninggal waktu sedang dioperasi. Sepertinya itu teman Yera, karena anakmu tidak mau pergi dari depan ruang ICU sampai sekarang."
"Astaga, anak itu." Arneo mengurut dahinya pusing. Sejak semalam, ia tak henti-hentinya menghubungi Yera, juga mencari Yera waktu jam sebelas malam. Ania sudah menangis, khawatir putranya kenapa-napa tanpa ada yang menolong, menusuk hati Arneo yang kian cemas.
Yera adalah putra mereka satu-satunya. Ania mungkin gampang menunjukkan kasih sayangnya pada Yera, tapi Arneo sukar melakukan itu. Neo hanya memikirkan bagaimana supaya masa depan anaknya cerah, tidak suram seperti kebanyakan remaja yang lain. Termasuk dengan memaksa Yera ikut les kedokteran.
"Aku akan ke sana sebentar lagi. Bisa kau pastikan dia tidak ke mana-mana?" Arneo melepas jas putihnya kala tiba di ruangannya, mengambil kunci mobil di meja, dantergesa menuju parkiran rumah sakit.
"Aku tidak janji, tapi bisa saja Yera akan tetap di sini, karena wali temannya belum datang. Yah, intinya, kau cepat-cepat saja kesini, bawakan Yera baju ganti. Seragam sekolahnya penuh darah. Aku tidak yakin mentalnya baik-baik saja.."
Panggilan terputus setelah Arneo mengucap terima kasih. Pria itu mengeluarkan mobil dari parkiran bawah tanah, mengendarainya menuju rumah, ingin menjemput Ania yang tak bisa tidur dari semalam.
Telapak tangan Arneo meremat stir mobil. Rahangnya mengeras, tatapannya pada jalan raya begitu tegas. Namun, tak ia elak, ia benar-benar mencemaskan Yera.
"Akhirnyakamu ketemu, dasar anak bandel," gumamnya geram.
***
"Selamat, Bro."
Ucapan yang diiringi tepukan di pundak tak henti mendatangi Geo kala vokalis itu menuruni panggung. Kaki jenjangnya menuruni tangga besi sebelum berjalan riang menyusuri koridor backstage kemudian sampai di ruangan khusus band SMK Sulawesi Selatan. Keriuhan penonton yang mengikuti lantunan lagu penutup dan suara petasan diletupkan menjadi euforia tersendiri untuk Geo. Senyum bahagia tak henti mewarnai wajah berkeringatnya. Meski tak bisa dipungkiri, rasanya capek sekali mengikuti rentetan lomba selama berminggu-minggu. Tinggal menghitung hari juga Geo dan member lain akan meninggalkan sekolah, makanya band mereka berusaha keras memberi penampilan terbaik, sekaligus yang terakhir.
"Selamat buat kemenangan Areas!" Letupan konfeti dan pekikan heboh teman-temannya mengejutkan Geo yang baru menyingkap bagian pintu di tenda berwarna putih itu. Geo berkedip, jantungnya bertalu-talu karena teriakan Reza yang menggelegar, membuat dia refleks menggaplok punggung cowok itu.
"Kau mengagetkanku!"
Cepat-cepat Reza menjauh, diselingi tawa saat Geo misuh-misuh, sementara dia asyik meniup terompet mungil yang efeknya memenuhi ruangan ini.
"Kita berhasil, Bro." Fero, drummer andalan sekolah yang tampak ganas dengan jaket kulit dan pakaian serba hitamnya maju untuk memeluk Geo yang diterima dengan senang hati. Geo menepuk punggung cowok itu pelan, sama seperti yang Fero lakukan sebelum keduanya mengurai pelukan. Oza, pianis yang paling pendiam di antara mereka mengikut, diikuti Reza, pemegang gitar bass yang paling cerewet. "Aku juga dong!"
KAMU SEDANG MEMBACA
[END] Dadah, Mama!
Teen FictionBullying, kekerasan dari Mama sendiri merusak jiwa Velia perlahan sampai dia stres hingga depresi. Satu-satunya sahabat menatap dia rendah setelah tahu Velia menyukainya, membiarkan ia tenggelam sendiri dan memilih bersandar ke sosok baru. Penghinaa...