52 | Plat

26 2 0
                                    

Dosen Sosiologi Komunikasi baru saja keluar waktu Gelia mengikuti gerak mahasiswa lain yang meninggalkan kelas. Matahari sedang terik-teriknya walau sudah pukul tiga sore. Kunci motor Bara bertengger di telunjuknya, berayun cepat mengikuti langkah Gelia.

Tetiba Gelia pengen makan es teler. Ia sudah mengajak Baradan cowok-cowok sekelasnya, supaya Gelia bisa menumpang di mobil atau motor mereka. Gelia malas menyetir mobil sendiri. Namun, tak ada yang tertarik. Alhasil, Gelia mencuri kunci motor Bara. Cowok itu merenggut, antara khawatir Gelia bakal kecelakaan kalau mengendarai motor sport besarnya, juga risiko bakal diomeli bokap kalau motornya rusak.

"Kau bilang mau memberiku apa pun, mana?" Gelia menantang cowok itu, bikin Bara kicep. Alhasil, ia hanya berucap, "Hati-hati. Motorku paling berat di antara kita di sini. Kau yakin tidak mau pakai skuternya Galuh?"

Gelia menggeleng keras. "Tidak mau! Nanti mogok lagi, bikin tambah repot doang." Gelia memeletkan lidah pada Galuh yang memutar badan, tidak mau melihatnya. Cowok itu menjatuhkan dagu ke sandaran kursi, mengangguk-angguk kala Bayu mengajaknya ngobrol.

Maka di sinilah Gelia. Berdiri di tengah parkiran berisi puluhan mobil dan motor. Gelia menggaruk pelipis bingung. Hari ini dia pakai hoodie putih berbintik hitam, bersama celana jeans mengepas, juga sneakers putih. Agak beda dari biasanya, tapi kadang-kadang Gelia mau melihat warna selain hitam saat bercermin, sih. Makanya sesekali dia tampak cerah seperti hari ini.

"Aish, aku lupa tanya platnya berapa." Gelia berdecak, tapi dia terlalu malas menelepon Bara. Cowok itu juga sering mensenyapkan ponselnya saat di kelas.

Gelia berjalan ke arah kiri, memasukkan tangan ke saku jeans dan memainkan lidah. Motor Bara itu warna biru mentereng. Kebanyakan mahasiswa di sini pakai motor matic atau gigi, cuma segelintir yang membawa motor besar semacam itu. Jadi harusnya Gelia gampang menemukan punya Bara dong.

Mata cokelat Gelia berbinar begitu melihat Yamaha Blue terparkir di dekat gedung kampus. Ia berlari kecil ke sana.

"Stikernya dia lepas? Tumben tidak cerita-cerita." Gelia mengedikkan bahu, lantas menunggangi motor Bara dan mengeluarkannya dari baris parkiran. Ia menyugar rambut, membiarkannya tergerai dan memasukkan kunci. Stater yang Gelia lakukan akan jadi hal terakhir sebelum teriakan seseorang dari koridor menyentaknya.

"Hei! Motorku!"

***

"Lagu yang kemarin ditolak lagi, Ge." Akra bicara setelah lama bungkam. Kelas ketiga Geo hari ini adalah Solfegio. Beda dengan member Areas lain yang mengambil jurusan Hukum atau Bisnis, Geo tetap memilih Seni Musik yang memang minat terbesarnya. Meski kampus hanya menyediakan grup paduan suara, Areas tetap Geo lanjutkan. Mereka menjadikan apartemen Akra sebagai tempat latihan, dan mulai menargetkan label-label ternama dengan menjual musik sendiri. Namun, sejauh ini, belum ada yang tertarik untuk merekrut Areas.

Geo menepuk pundak Akra beberapa kali. Mereka berjalan bersisian. Reza, Fero dan Oza masih ada kelas, mungkin beberapa menit lagi muncul. Mereka janjian mau makan siang di kafetaria. Meski ada jalur lain, Geo memilih mengarah ke parkiran untuk mengambil sesuatu di bagasi motor.

"Tidak pa-pa. Kita coba lagi. Instrumen bagian bridge-nya dibuat Oza, 'kan? Kita ganti saja ke versi lain yang lebih bagus."

Akra mengacak rambut keritingnya kesal. "Apa aku tidak berbakat, ya?"

"Hei, kau itu gitaris andalan kita. Kalau selevelmu kau anggap tidak berbakat, terus aku apa?" Mereka bertatapan. Geo tertawa kecil, membuat Akra berdecak.

Sedikit banyak Akra bersyukur Geo memilih bertahan walau setahun lalu pernah drop. Akra yang menyaksikan betapa menderitanya Geo. Sahabatnya depresi beberapa bulan. Masa liburan yang harusnya mereka rayakan dengan camping di Lappa Laona batal begitu saja, padahal Reza dan Fero sangat antusias menantikan itu.

[END] Dadah, Mama!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang