59 | Cara Baru

18 3 0
                                    

"Bagas, duluan ya?" Beberapa pegawai menyapanya, menghargai keberadaan si putra direktur perusahaan. Bagas mengangkat wajah yang sibuk menekuri ponsel selama lift membawa mereka ke lantai satu.

"Ah, iya, Kak. Silakan," angguknya sopan, mengizinkan lima orang itu pergi lebih dulu.

Langkah kaki jenjang Bagas memelan. Jas yang membingkai tubuhnya kini tersampir di lengan. Kemeja putih polos tetap menampakkan keseriusan dari lelaki itu. Meski baru berumur sembilan belas tahun, kebanyakan perempuan di kantor lebih pendek darinya. Label Bagas hanya belajar di kantor tak lagi melekat, sebab Bagas benar-benar serius melakukan tugas-tugas kecil yang Yoga berikan, membuat cowok itu dihormati karena kemampuannya.

Bagas: satu jam lagi pasti kujemput. Maaf, Fial. Kau bisa menunggu lebih lama, 'kan?

Pesannya tidak dibalas. Khas Fial sekali. Bagas terkekeh kecut. Memang kapan Fial membalas chatnya? Cewek itu tidak akan menghubunginya kecuali untuk marah-marah.

Bagas mempercepat langkah menuju mobilnya. Dia telat lima belas menit. Apa emosi Fial bakal reda kalau Bagas singgah membelikannya sesuatu yang manis?

***

Hujan mulai reda waktu Bagas mengemudi hingga ke depan gedung perpustakaan. Senyumnya mengembang kala melihat eksistensi Fial. Seperti biasa, Fial selalu tampil cantik di mata Bagas, tak peduli rambutnya lepek, makeup-nya lumayan hilang. Bareface pun Bagas tetap suka. Fial seistimewa itu untuknya.

Jemarinya hendak menekan tombol powerwindowswift agar bisa melihat wajah Fial lebih jelas, sekalian ingin melempar senyum ke calon tunangan. Namun, melihat Fial melangkah mendekat sembari melambaikan tangan pada cowok di belakangnya membuat Bagas hilang euforia.

Pintu mobil dibuka. Fial duduk ke jok sebelah Bagas kemudian menghantam pintu dengan kencang, melampiaskan kekesalannya.

"Sekalian saja suruh aku menunggu sampai tengah malam! Enak sekali, ya, punya semua orang di pihakmu, kau makin melunjak seenaknya. Menyebalkan."

"Mantel siapa yang kau pakai, Sayang?"

Pertanyaan tak Bagas niatkan itu keluar. Fial mendelik, menatap Bagas dengan sorot jijik ketika cowok itu tak juga melepas pandangan dari mantel cokelat di tubuh Fial.

"Kenapa tanya-tanya? Bukan urusanmu!"

"Kalau kuminta kau lepaskan, pasti tidak bakal kau lakukan, ya?"

"Itu tahu." Fial mengalihkan wajah ke arah di mana Bagas tak dapat menatapnya. Cewek itu memangku dua tangan di depan dada. "Tunggu apa lagi? Kau sengaja lambat begitu supaya aku demam?!" bentaknya kala Bagas bergeming.

Lelaki itu berkedip. Ia menatap Fial terluka, meski jelas sekali Fial tidak peduli dengan apa yang Bagas rasakan. Ia tahu, benar-benar paham bahwa bagi Fial, dirinya hanya hama yang terus menempel, enggan lepas meski berkali-kali Fial kelupas dengan kasar.

Perhatian Bagas kini tertuju pada jalanan di depannya. Ia membawa mobil abu-abunya menuju kediaman Fial. Namun, kini ia tak mengoceh, tak mengganggu Fial dengan perhatiannya yang tak pernah dianggap.

Bagas tak pernah meminta lebih. Dari kecil kehidupannya sudah dirunut oleh Papa. Jangan bermain di luar, nanti diajari hal-hal buruk sama anak-anak lain. Tinggal di rumah saja, belajar. Sebagai gantinya, Yoga selalu memenuhi kamarnya dengan mobil-mobilan juga robot mahal.

Bagas menerima semua itu.

Dia anak yang baik, melakukan segala keinginan Yoga dan Rissa tanpa membantah. Bagas tak pernah dibentak Papa. Meski tegas dan berwatak keras, tak pernah ada kelakuan Bagas yang menyulut amarah pendiri Sriwijaya Group itu. Sejak anak-anak sampai dewasa, Bagas selalu mengikuti kegiatan yang orang tuanya datangi. Meski membosankan. Walau menyedihkan.

[END] Dadah, Mama!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang