42 | Aku yang Mendengarmu

131 8 0
                                    

Suasana sudah aneh sejak Hana tidak menghadiri rapat penting jam delapan pagi tadi. Ersa sejujurnya maklum kalau tiba-tiba Hana tak ke kantor, tapi selama dua tahun mengenalnya, Ersa yakin Hana tak pernah seperti ini. Absen tanpa kabar, apalagi membuat Presdir kesal. Menghubungi lewat telepon dan chat tentu saja sudah Ersa lakukan, yang tak berbuah apa-apa. Seharian, Ersa tak mampu mengontrol rasa khawatir ini, membuatnya sesekali hilang fokus dan kena omelan atasan.

Jam dua belas siang, Ersa keluar dari lift yang menuntunnya ke lantai satu. Beberapa rekannya lalu-lalang di lobi, kebanyakan memilih keluar kantor dan makan di restoran terdekat. Ersa pun begitu. Kepalanya pusing memikirkan semua kemungkinan buruk yang bisa terjadi pada Hana. Segelas kopi panas mungkin bisa meredakan itu. Dapur kantor tidak bisa menjadi pilihan, karena berdiam diri di ruangan tertutup hanya memperburuk suasana hati Ersa.

Saat hendak melewati meja resepsionis dan berniat menyapa Sella, genggaman Ersa pada ponsel dan kunci mobilnya justru melemah.

"Bu Hana? Sebentar ya." Sella mengapit gagang telepon di pundak, lalu mengecek komputer beberapa saat. Setelah menemukan apa yang dia cari, tangan lentiknya kembali memegang telepon. "Maaf, Bu Hana tidak masuk hari ini. Ada pesan yang mau disampaikan?"

Perhatian Sella beralih sejenak melihat Ersa yang mendekat dengan ekspresi tegang.

"Kenapa?" Sella bertanya tanpa suara.

"Berikan padaku." Dengan cepat Ersa merebut telepon putih itu dari Sella. Dia menempelkannya ke telinga dan berucap kalut. "Hana kenapa? Dia sakit?"

"Ersa, itu dari rumah sakit!" bisik Sella mengingatkan, agak terkejut akan tingkah Ersa yang beda dari biasanya.

"Dari data diri pasien, tertera kalau Ibu Hana adalah walinya? Benar?"

Anak itu. Ersa langsung teringat pertemuan singkatnya dengan putri Hana.

"Iya, benar. Velia kenapa?" tuntut Ersa semakin panik.

"Pasien meninggal pukul tiga dini hari, penyebab kematian karena kecelakaan, tapi kami juga menemukan banyak bekas perkosaan di beberapa bagian tubuh pasien...."

"Ersa!" Sella terlonjak begitu gagang telepon Ersa jatuhkan begitu saja, kemudian berlari sekuat tenaga ke arah pintu kantor. Gagang telepon itu berayun kencang dan sesekali bertubrukan dengan dinding resepsionis.

"Mau kemana?! Ersa!"

Hana pasti hancur. Ersa tak bisa memikirkan hal lain selain wanita itu. Hana ... bagaimana keadaannya? Apa yang sebenarnya terjadi? Apa gara-gara teror waktu itu?

Dan yang paling membuat Ersa geram, kenapa dia tidak tahu apa pun dan mengetahui ini di saat terakhir?

"Sial!"

***

Jalan Penjernihan Raya tak begitu macet kala Ersa mengendarai Toyota mengilapnya menuju rumah Hana. Sepanjang perjalanan, Ersa tak bisa duduk dengan tenang. Meski tangan kirinya memegang kemudi, tangan kanan Ersa tak diam, terus mengusap dagu dan alis bergantian. Kerut berlapis memenuhi keningnya yang tak tertutup rambut. Surai ber-gelnya mulai awut-awutan, efek dari kekalutan yang merubungi Ersa. Ia panik. Ia cemas sekali. Ersa tidak mengenal Hana dari masa remaja wanita itu, tapi mengetahui masa kelam yang Hana punya, membuat Ersa tak yakin Hana akan baik-baik saja kini.

Mobil hitam Ersa mengerem kencang begitu sampai di depan rumah. Gerbang terbuka sedikit, memudahkan Ersa untuk masuk. Komplek perumahan Hana memang tergolong sepi. Rumah Hana berjarak satu-dua meter dengan rumah yang lain, sebab komplek ini adalah perumahan pinggir kota yang sedikit peminat. Sekitar tiga tahun lalu Hana pindah ke sini, kalau Ersa ingat-ingat percakapan mereka.

[END] Dadah, Mama!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang